Senin, 13 Desember 2010

Hukum sebagai Produk Politik Tertinggi

                    

Pendahuluan
Berdasar asumsi bahwa hukum adalah produk politik maka tampaklah fakta di depan kita bahwa begitu politik berubah hukum juga berubah. Kita menyaksikan sendiri betapa begitu rezim Orde Baru jatuh maka hampir semua hukum atau UU produk politik Orde Baru diganti. Penggantian itu mula-mula menyentuh level UU sehingga kits melihat terjadinya penggantian UU kepartaian, UU lembaga perwakilan, UU pemilu, UU Pemerintahan Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Tindak Pidana Korupsi, Pencabutan UU Subversi, dan sebagainya. Sampai dengan tahun 2007 ini rezim reformasi sudah melahirkan tidak kurang dari 200 UU yang lebih dari 30 di antaranya adalah UU yang lahir dari hak inisiatif DPR.
Perubahan itu kemudian (sejak tahun 1999) menyentuh level yang lebih tinggi daripada UU yakni Tap MPR dan UUD. Mula-mula beberapa Tap MPR dicabut dan diganti serta dibuat Tap­tap MPR yang barn yang dianggap lebih demokratis. Kemudian dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD yang dikerjakan dalam empat tahap dan meniadakan Ketetapan MPR sebagai bagian dari peraturan perundang undangan di dalam tata hukum kita.
 Perubahan UUD kita setelah reformasi ini hanyalah sate kali tetapi disahkan dalam empat tahap.  Karena sebenarnya selama empat tahun MPR tak berhenti membahas perubahan itu, hanya saja pengesahannya dilakukan setiap bulan Agustus sesuai dengan capaian tahapan perubahan itu. Antara bulan Agustus setelah pengesahan ke bulan Agustus tahun berikutnya MPR melalui Panitia Ad Hoc I tak pernah berhenti membahas perubahan UUD tersebut. Oleh sebab itu tidaklah benar kalau dikatakan bahwa MPR terlalu ceroboh karma dalam empat tahun mengubah UUD sampai empat kali. Yang benar selama empat tahun itu MPR hanya sekali mengubah UUD karma faktanya perubahan itu berkelanjutan dan bukan mengamandemen terhadap basil amandmen tahun sebelumnya. Perubahan itu didasarkan pada kesepakatan dasar dengan satu konsepsi tertentu yang dipatok sejak tahun 1999. Namun karena proses pembahasan dan perdebatannya panjang maka pengesahaannya dilakukan secara bertahap setiap Sidang Tahunan MPR pada bulan Agustus sesuai dengan capaian pembahasan dan kesepakatan setiap tahun . Hasilnya menimbulkan perdebatan dan kekecewaan di kalangan sebagian masyarakat itu adatah biasa, sebab, apa pun isi dan hasil amandemen itu merupakan kesepakatan politik yang pasti ada yang setuju dan ada yang tak setuju. Yang penting prosedurnya benar dan demokratis, sebab kata KC Wheare konstitusi itu merupakan resultante atau kesepakatan-kesepakatan politik sesuai dengan situasi poleksosbud dan waktu tertentu. Sebagai kesepakatan politik amat sulit mengharapkan sebuah konstitusi disetujui oleh semua orang. Bahwa hasil perubahan itu secara struktur dan sistematika terlihat buruk, juga disebabkan oleh karena kesepakatan-kesepakatan yang harus dibuat dan kemudian tak dapat dihindari.

KKN Tetap Subur, Hukum Tetap Bobrok

Mungkin banyak di antara kita yang kecewa ketika ternyata setelah sembilan tahun reformasi KKN bukannya hilang, tetapi semakin merebak dan menjadi wabah menular termasuk kepada pejuang-pejuang reformasi. Kita dikejutkan oleh tragedi korupsi di KPU yang melibatkan mantan aktivis LSM penegakan hukum dan HAM serta beberapa guru besar yang dulunya menawarkan konsep-konsep reformasi. Kita tersentak ketika Menteri Agama dan salah seorang dirjennya dijatuhi hukuman penjara karena terbukti mengorupsi Dana Abadi Ummat. Bahkan kita bergidik ketika Dirut Bulog ditangkap dengan tuduhan korupsi ratusan miliar rupiah yang diduga melibatkan isteri, anak, saudara, dan menantunya. Kita terhenyak ketika seorang guru besar yang tampak sederhana dan berlatar belakang santri yakni mantan menteri kelautan dan perikanan diadili karena melakukan korupsi dan menyebar ranjau korupsi. Hampir semua tokoh politik yang dikenal sebagai pelopor-pelopor reformasi diciprati dengan dana nonbujeter DKP yang diduga kuat merupakan hasil korupsi.
Akibat ranjau korupsi yang menggila seperti itu maka banyak politisi dan aparat penegak hukum yang kemudian melakukan politik kancil pilek atau politik sariawan. Para politisi yang tadinya galak kemudian menjadi berperangai halus dan arif dan meminta tak buru-buru memvonis orang korupsi serta ber-suudzdzan. Aparat penegak hukum jerih, saling lempar badan karena tak mau berbenturan dengan partai politik yang pimpinannya diindikasikan terlibat korupsi. Padahal semua aparat penegak hukum langsung dapat bergerak untuk memroses dugaan tindak pidana yang bisa dijerat dengan berbagai kategori: korupsi. Pencucian uang, gratifikasi, dan pidana pemilu.
Mengapa KKN merajalela dan hukum tetap tak tegak? jawabannya dapat diberikan dengan analisis dari sudut politik maupun dari sudut pembangunan hukum.
Dari sudut politik  sekurang-kurangnya ada empat hal yang menyebabkan keadaan ironis terus berlanngsung.

1. Reformasi hanya memotong. puncak

Ketika melakukan reformasi kita hanya memberhentikan Presiden dan kabinetnya tanpa sekaligus melakukan reformasi birokrasi, padahal birokrasi yang mencakup sistem, prosedur dan para pejabatnya merupakan birokrasi yang sangat korup karena dibangun secara korup pula selama puluhan tahun.
Dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi di dalam birokrasi yang masih korup ini yang terjadi adalah situasi saling blokade dan saling ancam di antara mereka yang harus ditindak dan harus melakukan tindakan karena sama-sama punya masalah korupsi. Seorang yang bertugas melakukan tindakan hukum terpaksa harus berhenti ketika pihak yang akan ditindak menunjuk balik bahwa dirinya pun sebagai aparat yang harus memeriksa juga punya sejarah tidak bersih.
Orang-orang baru yang 'reformis' bisa dikepung oleh kawanan birokrat lama untuk tidak dapat berdaya menghadapi korupsi yang terus berjalan tanpa takut, malah pejabat baru yang hadir dengan misi memberantas korupsi itulah yang dapat teriempar jika mau nekat membersihkan birokrasi . Dalam situasi seperti ini maka seringkali, dan banyak sekali, kasus yang menggegerkan masyarakat tiba-tiba hilang dari pemberitaan yang ketika ditanya ke mana kasus itu jawabannya adalah 'tak cukup bukti. Padahal yang terjadi di sini adalah saling menutupi dari borok korupsi masing-masing dan bukan benar-benar tak cukup bukti awal untuk terus diproses secara hukum.
2. Masih dominannya permainan-permainan

Selain itu keadaan sekarang ini disebabkan juga oleh masih leluasanya pemain-pemain politik lama yang dulunya ikut membangun sistem yang korup untuk terus menguasai panggung politik. Semula, atas nama demokrasi dan perlindungan HAM, kita tidak punya alasan untuk melarang orang tetap aktif di panggung politik. Tapi justru itulah pula yang menyebabkan banyaknya tokoh lama yang tetap leluasa menjadi aktivis parpol. Ketika harus terlempar dari wadah yang lama mereka bisa berloncatan dari parpol lama ke parpol lama yang lain atau mendirikan parpol baru. Oleh sebab itu dalam keadaan seperti sekarang ini tidak dapatlah kita mengatakan ada parpol yang baik atau jelek, sebab dalam kenyataanya di setiap parpol ada orang-orang yang jelek dan ada orang-orang yang baik secara bercampurbaur dengan kecenderungan institusional yang korup. Oleh sebab itu cap "reformis" atau "antireformasi" tak dapat dilekatkan pada satu parpol mana pun melainkan pada orang-orang yang mengendalikan parpol yang dapat berada di parpol mana saja 
3.Politisi baru yang tanpa visi

Banyak juga politisi baru yang hadir ke panggung politik melalui parpol tanpa visi dan misi untuk melakukan reformasi. Mereka hadir ke panggung politik karena tiba-tiba mendapat peluang atas wadah yang harus mereka isi tanpa syarat kualitas tertentu karena memiliki massa pendukung. Bahkan jika dilihat dari fakta banyaknya tokoh-tokoh parpol, terutama di tingkat lokal, yang bermasalah dengan hukum karena KKN, dapat dikatakan bahwa mereka hadir ke panggung politik bukan dengan misi untuk memperbaiki melainkan ingin ikut menikmati juga peluang-peluang KKN yang dulunya tak dapat mereka peroleh.
Keadaan ini disebabkan oleh tidak adanya sumber daya manusia yang cukup berkualitas di kalangan parpol-parpol terutama di tingkat lokal sebagai akibat dari sistem politik Orde Baru yang puluhan tahun sangat hegemonik.

 4. Rekrutmen potitik yang tertutup

Penyebab lainnya adalah sistem rekrutmen politik yang tertutup baik untuk legislatif maupun untuk eksekutif. Jika mengambil contoh kabinet yang memimpin eksekutif sekarang ini maka terlihat bahwa penempatan pejabat-pejabat puncak di eksekutif yang secara formal menjadi hak prerogatif Presiden dalam praktiknya harus dilakukan melalui negosiasi politik antara Presiden dan elit parpol atau pendukung kampanye pilpres dalam rangka kompensasi politik sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan. Presiden yang mempunyai niat baik untuk membentuk kabinet yang terdiri dari para ahli dan profesional terjebak dalam transaksi politik yang tak dapat dihindari. Akibatnya pembentukan zaken kabinet (kabinet ahli dan profesional) yang dijanjikan tak bisa dilakukan dengan leluasa, bahkan fit and proper test yang semula dilakukan untuk calon pejabat pada saat terakhir pembentukan kabinet tidak lagi menjadi pertimbangan utama, lebih­-lebih pada saat reshuffle.
Transaksi politik yang seperti ini adalah konsekuensi dari sistem politik kita yang menuntut untuk dilakukan oleh siapa pun yang terpilih menjadi Presiden karena sistem pemerintahannya tidak sinkron dengan sistem kepartaiannya. Makanya yang tampil adalah sistem Presidensial bergaya parlementer.
Untuk lembaga legislatif rekrutmen politik yang tertutup ini terutama melekat pada sistem pemilu yang dipergunakan untuk merekrut wakil-wakil rakyat yakni sistem proporsional tertutup dimanaA6enentuan anggota lembaga perwakilan rakyat dapat dikatakan sepenuhnya tergantung pada pimpinan partai, rakyat hanya memilih gambar parpol sedangkan calon-calon ditetapkan oleh pengurus parpol berdasarkan nomer urut yang dapat disusun berdasar posisi, transaksi, atau kedekatan politik.
Dalam hal-hal yang penting situasi tersebut telah menimbulkan sistem politik yang oligarkis, bukan lagi demokratis, karena demokrasi itu sendiri telah dirampok oleh para elitenya. Maka jangan heran jika kemudian hukum tidak responsif dan pedunia peradilan juga korup sebab tak mungkin hukum dan peradilan itu menjadi baik jika politik yang melatarbelakanginya tidak demokratis melainkan oligarkis seperti sekarang ini.

Peradilan yang juga Korup

Jadi selain lembaga legislatif dan eksekutif kita juga merasakan bahwa judicial corruption di lembaga yudikatif tak kalah maraknya. Kebebasan lebih luas yang diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (mula-mula dimuat di dalam UU No. 35 Tahun 1999) kepada para hakim bukan hanya digunakan oleh hakim untuk bebas dari intervensi kekuatan luar dalam memutus perkara tetapi juga oleh sebagian hakim digunakan sebagai kebebasan untuk melakukan korupsi peradilan dengan berbagai variasinya. Ada kasus Herman Alositandi dan ada kasus Harini Wijoso yang semuanya sudah dihukum.
Ini tragis sebab lembaga peradilan adalah leading sector dalam pemberantasan KKN. Logikanya begitu Indonesia hancur dan terperosok ke dalam krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga peradilan juga korup. Karena lembaga kekuasaan kehakiman yang korup maka lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti kejaksaan, kepolisian dan pengacara juga menjadi semakin korup.1z Sekarang ini banyak pengacara yang lebih mengandalkan lobi dalam menangani kasus dan bukan mengandalkan kelihaian dalam membangun argumen yuridis. Bahkan untuk kasus-kasus yang melibatkan orang besar Tim Pengacaranya dilengkapi juga dengan tim lobi yang mencari peluang-peluang untuk memenangkan perkara secara manipulatif. Lebih buruk lagi, sekarang ini saksi ahli pun kabarnya bisa dipesan untuk mengatakan hal tertentu dengan tarif tertentu pula.

Kreativitas Korupsi

Ada yang mengatakan bahwa keadaan ini adalah warisan budaya Indonesia. Karena warisan budaya maka kita sangat banyak akal untuk selalu korupsi. Bagaimana pun kita mengatur hal-hal penting agar menjadi baik atau menjadi bersih dari KKN maka peraturan itu menjadi tidak efektif karena selalu dapat diakali untuk dikorupsi atau dimanipulasi. Seperti akan dikemukakan kemudian saya sendiri tidak terlalu percaya bahwa keadaan buruk ini timbul dan berlangsung karena budaya kita memang budaya korup sehingga sangat kreatif untuk korupsi; namun marilah kita lihat contoh betapa memang kreatifnya banyak di antara kita untuk melakukan korupsi.
1.      Penyatuatapan pembinaan hakim
Dulu kita berteriak agar pembinaan hakim diletakkan di bawah satu atap Mahkamah Agung (MA). Asumsinya jika para hakim bebas dari pengaruh atau intervensi pemerintah maka kinerja hakim akan lebih baik karena dia dapat memutus perkara tanpa harus takut berefek pada status kepegawaian dan stabilitas finansialnya. Namun setelah penyatuatapan itu dilakukan, seperti dikemukakan di atas, dunia peradilan bukan menjadi lebih baik sebab "mafia peradilan" dan judicial corruption yang melibatkan hakim malah semakin marak. Kebebasan yang diberikan kepada hakim ternyata oleh sebagian hakim digunakan bukan sekedar membebaskan diri dari intervensi pemerintah melainkan digunakan untuk berbuat berbagai hal yang tidak patut, termasuk melakukan korupsi.
2.      Penghapusan recall anggota DPR/DPRD
Dulu kita juga selalu berteriak agar tidak ada recall (pemberhentian di tengah jalan) bagi anggota DPR/DPRD kecuali karena meninggal, mengundurkan diri, atau dijatuhi hukuman pidana dengan kualifikasi tertentu. Maksudnya agar para wakil rakyat bisa kritis dan tidak takut untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Tetapi setelah tak bisa direcall banyak anggota lembaga perwakilan rakyat yang berperilaku korup dan amoral, banyak yang terlibat korupsi, perjudian, perbuatan asusila, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Ketika disorot mereka seakan menantang balik karena tidak bisa direcall kecuali setelah ada putusan pengadilan, padahal selain lama proses pengadilan itu masih bisa dikolusikan.
3.      Otonomi luas bagi Daerah
Dulu kita juga meneriakkan agar sistem desentralisasi kita menganut asas otonomi luas dan DPRD diberi kedudukan politik yang kuat sebagai lembaga Legislatif Daerah yang sejajar dengan lembaga Eksekutif Daerah. Tapi yang terjadi sesudah itu adalah merebaknya korupsi di kalangan oknum-oknum anggota DPRD. Banyak anggota DPRD yang kemudian berkolusi atau bahkan memeras kepala daerah dengan ancaman 'halus' LPJ-nya akan ditolak dan/atau akan dijatuhi mosi tak percaya jika permintaan itu tak dipenuhi. Saat pemilihan kepala daerah yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 dipilih oleh DPRD banyak oknum anggota DPRD yang diberitakan menjual suaranya kepada calon tertentu. Yang muncul kemudian kepala daerah yang mampu membeli suara terhadap lebih dari separuh dari seluruh anggota DPRD, bukan kepala daerah yang berkualitas dan amanah.

4.      Penghidupan Recall dan Pilkada Langsung
Berdasar pengalaman buruk atau rapor anggota DPRD berdasar UU No. 22 Tahun 1999 itu maka pada tahun 2002 W tentang Parpol dan UU tentang Susduk MPR/DPR/DPD/DPRD diubah lagi dengan menghidupkan kembali lembaga recall yang diserahkan kepada Pimpinan Parpol. Pemilihan kepala daerah pun diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 menjadi pemilihan langsung sehingga anggota DPRD tak bisa lagi menjual suaranya kepada calon kepala daerah.
Tetapi lagi-lagi kreativitas korupsi muncul dari pintu lain. Kalau dulu anggota DPR/DPRD bisa melakukan manipulasi karena tak dapat direcall, sekarang gantian pengurus parpol yang dapat mengancam akan (dan sudah terbukti ada yang) me-recall anggotanya dengan alasan yang masih kontroversial. Pada pihak lain setelah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung dan anggota DPRD tak dapat menjual suaranya secara eceran maka giliran oknum pengurus parpol yang kini gencar diberitakan memungut uang yang tidak sedikit untuk keluarnya sebuah rekamendasi pencalonan. Kasus pilkada DKI yang kini sedang akan berlangsung sampai sekarang diramaikan oleh gugatan calon-calon yang gagal diusung karena mereka telah membayar uang kepada (oknum) parpol. Sungguh, orang kita ini sangat kreatif untuk korupsi.

Apakah Karena Budaya ?
Tampak dan terasalah bahwa berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberantas KKN dan menegakkan hukum selalu bisa diadakan untuk dikorupsi. Inilah yang menjadi argumen bahwa korupsi adalah budaya kita; sebab bagaimana pun kita mengatur untuk mengubah kebiasaan korup itu ternyata selalu muncul kreatif untuk mengakalinya lagi.
 Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, mengatakan "nonsens" jika dikatakan korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan dunia peradilan menurut Pompe judicial corruption baru muncul setelah peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer, Itu terjadi ketika Soeharto mulai melangkah untuk mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan kehakiman. Sejak itu, kata Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian amplop atau upeti) di kalangan hakim.
Penulis sependapat dengan Pompe. Hasil studi yang pernah penulis lakukan menunjukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui pimpinan-pimpinan yang tegas dan penuh integritas. Pada periode itu kita mencatat nama harum Jaksa Agung Soeprapto yang tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, ke pengadilan karena melakukan tindak pidana; begitu juga pada saat itu terlihat munculnya hakim-hakim yang jujur dan berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.
Dengan demikian pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak dapat kita terima karena dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan fakta sejarah; kedua, kalau kita mempercayai pandangan itu berarti percaya pula bahwa ape pun yang akan kita lakukan akan gagal sebab budaya itu sangat sulit untuk diubah.

Ranah Pembangunan Hukum Kita
Jika kita menggunakan teori yang ditawarkan oleh Friedman maka barangkali ada penjelasan atas berbagai persoalan tersebut. Seperti diketahui ranah pembangunan hukum menurut Lawrence M. Friedman sekurang-kurangnya harus menyangkut tiga hal yakni substance (isi atau materi hukum), structure (aparat penegak hukum), dan culture (budaya hukum).
Perubahan yang terjadi pada era reformasi sebagian besar menyangkut pada isi hukum, sedangkan pembangunan struktur hukum baru menyangkut struktur organisasi penegakan hukum tanpa menyentuh para penegak hukumnya. Begitu juga budaya hukum belum banyak disentuh dalam proses reformasi.
Seperti kita ketahui begitu rezim Orde Baru runtuh maka diubahlah semua UU yang dianggap tidak kondusif bagi demokratisasi dan penegakan hukum, mulai dari UU bidang politik, bidang HAM, bidang peradilan, korupsi, pencucian uang dan sebagainya.
Begitu juga kita sudah mengubah bahkan menambah struktur lembaga penegak hukum dengan tujuan agar penegakan hukum, terutama untuk memberantas KKN, bisa berjalan efektif. Pembinaan hakim sudah disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung. Kita juga sudah membentuk Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial melalui amandemen konstitusi; bahkan kita juga sudah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Peradilan HAM, Peradilan Tipikor, dan berbagai peradilan khusus lainnya. Namun dalam kaitan structure ini kita belum memperbaiki birokrasi dalam arti pejabat penegak hukum sehingga upaya pemberantasan KKN mengalami komplikasi bahkan blokade dari dalam diri aparat sendiri.
Ada pun pembangunan budaya hukum belum efektif karena tampaknya belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Pembangunan budaya hukum di sini harus diartikan sebagai upaya mengubah pemahaman, penghayatan, dan perilaku masyarakat dalam bidang hukum agar menjadi kondusif bagi penegakan hukum. Pembangunan budaya hukum harus dilakukan bukan karena budaya hukum kita merupakan budaya korup, melainkan karena kita perlu menghidupkan kembali budaya hukum yang baik yang telah lama kita miliki.
Belajar dari fakta sejarah, ketegasan dalam penegakan hukum merupakan kunci penting untuk mengatasi berbagai problem yang kita hadapi terutama untuk membangun budaya disiplin dan ketaatan hukum. Selama ini kita sudah sangat banyak memproduk berbagai W untuk mengatur langkah mencapai tujuan reformasi, tetapi belum banyak pemimpin-pemimpin yang tegas dan berani menegakkan hukum.
 
Langkah-langkah
Mengingat berbagai persoalan yang dikemukakan pada awal tulisan ini maka selain mencari "penegak hukum" yang tegas dan berani ada beberapa langkah lain yang juga perlu dilakukan secara serius dan simultan.
Pertama, melakukan reformasi birokrasi agar segera bersih dari sistem, prosedur, dan pejabat-­pejabat yang korup. Selama ini kita selalu menyatakan yakin bahwa salah satu kunci penting keberhasilan reformasi adalah reformasi 6irokrasi, tetapi langkah nyata dan tegas ke arah itu belum juga dilakukan.
Kedua, memutus hubungan secepatnya dengan persoalan-persoalan KKN yang diwariskan oleh Orde Baru agar kita keluar dari blokade yang mengepung dari berbagai lini. Pemutusan hubungan ini bisa dengan radikal (amputasi tanpa pandang bulu) dan bisa juga dengan kompromi (ampuni dan rekonsolidasi dengan pemakluman) yang kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan tegas.
Ketiga, membangun sistem rekrutmen politik yang demokratis dan terbuka melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka dapat menyeim6angkan peran parpol untuk menyeleksi kader-kadernya dan peran rakyat pemilih untuk menentukan sendiri wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif sesuai dengan yang ditawarkan. oleh parpol. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka juga lebih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk. Untuk lembaga eksekutif sistem pemilihan Presiden secara langsung harus disertai dengan instrunmen atau subsistem rekrutmen pejabat yang mendorong Presiden membentuk zaken kabinet (kabinet ahli, bersih, dan profesional) dengan membebaskan Presiden dari belenggu untuk melakukan itu karena transaksi politik kompensasi dan dukungan. Adalah fakta sekarang ini Presiden tidak sekuat yang dibayangkan ketika kita menetapkan pemilihan presiden langsung agar Presiden lebih kuat. Sekarang ini Presiden tampak tersandera oleh, dan karenanya selalu memberi kompensasi politik, kepada parpol-parpol agar kebijakannya tidak diganggu. Seleksi pejabat kemudian tidak lagi berdasar keahlian dan profesionalitas melainkan berdasar hasil kompromi dan pertimbangan kompensasi poiitik.


MEMAHAMI PENGERTIAN TUGAS BELAJAR DAN IJIN BELAJAR


Sistem Pembinaan karier pegawai pada hakekatnya adalah suatu upaya sistematik, terencana yang mencakup struktur dan proses yang menghasilkan keselarasan antara kopetensi pegawai dengan kebutuhan organisasi. Pegawai dituntut untuk lebih meningkatkan kemampuannya sesuai dengan kompetensinya melalui jalur pendidikan formal, disisi lain organisasi harus dapat mendorong peningkatan prestasi kerja pegawai untuk mendayagunakan kemampuan profesionalnya sesuai dengan kebutuhan organisasi. Untuk menciptakan sistem pembinaan karier pegawai, perlu disusun suatu pola karier pegawai yang sesuai dengan kebutuhan dan misi organisasi dalam mendukung karier pegawai sesuai dengan pengembangan manajemen kepegawaian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sesuai dengan Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor SE/18/M.PAN/5/2004 tanggal 14 Mei 2004 tentang Pemberian Tugas Belajar dan Ijin Belajar Pegawai Negeri Sipil, diatur sebagai berikut:
Ketentuan Pemberian Tugas Belajar:
  •  Pegawai Negeri Sipil yang telah memiliki masa kerja sekurang-urannya 2 (dua) tahun sebagai Pegawai Negeri Sipil dan untuk bidang pendidikan yang langka dapat diberikan sejak diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil;
  • Setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam 2 (dua) tahun terakhir sekurang-kurangnya bernilai baik;
  • Tidak sedang menjalani hukuman disiplin tingkat sedang atau berat;
  • Tidak sedang menjalani pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil;
  • Pendidikan yang akan ditempuh sesuai dengan pengetahuan atau keahlian yang dipersyaratkan dalam jabatan pada organisasi;
  • Usia maksimum 25 tahun untuk Program Diploma III dan Program Strata 1 (S1), usia 37 tahun untuk Program Strata II (S2) atau setara, dan usia 40 tahun untuk Program Strata III (S3) atau setara;
  • Biaya pendidikan ditanggung oleh Pemerintah, Pemerintah Negara lain, Badan Internasional, atau Badan Swasta Dalam Negeri maupun Luar Negeri;
  • Program pendidikan di dalam negeri yang akan diikuti telah mendapat persetujuan menteri yang membidangi pendidikan;
  • Dalam memberikan tugas belajar, setiap instansi harus memberikan kesempatan yang sama bagi semua Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan bidangnya;
  • Pegawai Negeri Sipil tidak berhak untuk menutut penyesuaian ijasah kedalam pangkat apabila formasi belum memungkinkan.
Ketentuan Pemberian Ijin Belajar:
  1. Pegawai Negeri Sipil sudah bekerja sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sejak pengangkatannya sebagai Pegawai Negeri Sipil;
  2. Setiap unsur pelaksanaan pekerjaan dalam 2 (dua) tahun terakhir sekurang-kurangnya bernilai baik;
  3. Tidak sedang menjalani hukuman disiplin tingkat sedang atau berat;
  4. Tidak sedang menjalani pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil;
  5. Bidang pendidikan yang dikuti harus mendukung pelaksanaan tugas jabatan;
  6. Biaya pendidikan ditanggung oleh Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
  7. Program pendidikan di dalam negeri yang akan dikuti telah mendapat persetujuan menteri yang membidangi pendidikan;
  8. Pendidikan diikuti diluar jam kerja dan tidak mengganggu pekerjaan/tugas sehari-hari;
  9. Pegawai Negeri Sipil tidak berhak untuk menuntut penyesuaian ijasah kedalm pangkat apabila formasi belum memungkinkan.
Pemberian tugas belajar dan ijin belajar dilakukan oleh pejabat yang berwenang serendah-rendahnya pejabat eselon II (dua).
 
Saat ini ada kecenderungan mudahnya memperoleh gelar/ijasah, ada beberapa perguruan tinggi yang membuka kelas khusus/kelas jauh/kelas eksekutif/kelas sabtu-minggu, antara lain:
  1. Perguruan Tinggi Negeri pada awalnya menyelenggarakan pendidikan kelas reguler, pada perkembangannya menyelenggarakan kelas khusus/kelas jauh/kelas eksekutif
  2. Perguruan Tinggi Swasta yang telah mendapat ijin operasional pada awalnya menyelenggarakan kelas reguler, namun pada perkembangannya menyelengarakan kelas khusus/kelas jauh/kelas eksekutif/kelas sabtu-minggu.
  3. Perguruan Tinggi Swasta sejak didirikan memang telah menyelenggarakan kelas jauh/kelas khusus/kelas eksekutif.
Sesuai dengan surat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 1506/D/T/2005 tanggal 16 Mei 2005, yang ditujukan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara, antara lain dinyatakan bahwa:
  1. Pendidikan jarak jauh yang diakui oleh pemerintah adalah yang hanya diselenggarakan oleh Universitas Terbuka.
  2. Kelas jauh/kelas khusus/kelas eksekutif/kelas sabtu-minggu bukanlah terminologi resmi Departemen Pendidikan Nasional. Dengan demikian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi tidak mengenal istilah kelas khusus/kelas jauh/kelas eksekutif/kelas sabtu-minggu, dan istilah tersebut hanya digunakan oleh perguruan tinggi dalam upaya menarik minat calon mahasiswa. Penyelenggaraan kelas jauh/kelas khusus/kelas eksekutif/kelas sabtu-minggu tidak sesuai dengan kaidah dan norma pendidikan tinggi.
Permasalahannya kemudian tertetak pada ijazah yang dikeluarkan oleh perguruan tinggi tidak mencerminkan apakah perguruan tinggi dalam penyelenggaraannya secara regular atau kelas jauh/kelas khusus/kelas eksekutif/kelas sabtu-minggu, sehingga menyulitkan penentuan civil effect dalam pembinan karier Pegawai Negeri Sipil karena semuanya mendapat perlakuan yang sama, bahkan yang jelas melanggar ketentuan Direrktorat Jenderal Pendidikan Tinggi juga mendapat pengakuan yang sama dengan peserta regular. Karena dalam prakteknya, ijin penyelenggaraan tersebut banyak yang tidak mencantumkan dalam ijasah, sehingga pengelola kepegawaian menemui kesulitan untuk mengidentifikasi ijasahnya sah atau tidak.
 
Untuk menghindari terhadap ijasah yang tidak sah dan untuk memberikan keadilan bagi lulusan perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan melalui program reguler, harus menerapkan persyaratan dalam penetapan civil effectnya, yaitu ada jaminan dari pimpinan perguruan tinggi bahwa tidak ada kelas jauh/kelas khusus/kelas eksekutif/kelas sabtu-minggu, dan apabila ternyata ada yang melakukan itu, maka penetapan civil effectnya harus dibatalkan.
 
Kemudian surat edaran Direktur Kelembagaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 595/D5.1/T/2007 tanggal 27 Pebruari 2007 yang ditujukan kepada seluruh Rektor Perguruan Tinggi Swasta dan Koordinator Kopertis Wilayah I-IX, mengenai Edaran Tentang Larangan Kelas Jauh/Kelas Sabtu-Minggu, antara lain disebutkan bahwa:
  1. Penyelenggaraan pendidikan kelas jauh/kelas sabtu minggu adalah melanggar norma, kaidah dan kepatutan akademik, dimana kualitas penyelenggaraan perkuliahan dan lulusannya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
  2. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi sejak tahun 1997 telah melarang penyelenggaraan pendidikan model kelas jauh/kelas sabtu-minggu, karena tidak sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku, dan menetapkan bahwa ijasah yang dikeluarkan tidak sah dan tidak dapat digunakan untuk pengangkatan maupun pembinaan karier/penyetaraan bagi Pegawai Negeri Sipil, dengan kata lain tidak mempunyai civil effect.
Peraturan Mendiknas Nomor 30 Tahun 2009, Tentang Penyelenggaraan Program Studi di Luar Domosili Perguruan Tinggi,
 
Pasal 1
Ayat (1) Dimisili perguruan tinggi adalah wilayah penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh suatu satuan pendidikan tinggi sebagaimana dicantumkan dalan izin pendirian perguruan tinggi dan/atau izin penyelenggaraan program studi yang ditetapkan oleh Departemen
Ayat (2) Penyelenggaraan program studi di luar domisili adalah pelaksanaan kegiatan pendidikan tinggi oleh perguruan tinggi di luar domisili perguruan tinggi sebagaiman dicantumkan dalan izin pendirian perguruan tinggi dan/atau izin penyelenggaraan program studi yang ditetapkan oleh departemen
 
Pasal 3
Ayat (1)b Perguruan tinggi penyelenggara program studi diluar domisili telah memperoleh akreditasi A untuk program studi yang sama
Ayat (2) Perguruan tinggi penyelenggara program studi di luar domosili wajib mengajukan izin kepada menteri
 
Pasal 4
Ayat (1) Penyelenggaraan program studi di luar domisili yang tidak memenuhi Peraturan Menteri ini dilarang, Kecuali Program Sarjana dan Kependidikan Bagi Guru Dalam Jabatan
 
Dalam keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 12 Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawaian Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002, angka IV dalam angka 9 huruf a, disebutkan bahwa ijasah yang diperoleh dari salah satu perguruan tinggi negeri dan swasta atau ijasah yang diperoleh dari sekolah atau perguruan tinggi swasta yang telah terakreditasi dan atau telah mendapat ijin penyelenggaraan dari menteri yang bertanggungjawab di bidang pendidikan nasional atau pejabat lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berwenang menyelenggarakan pendidikan.
 
Pasal 18 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2002, disebutkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang telah memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar/ijasah dapat dinaikkan pangkatnya menjadi golongan ruang yang sesuai dengan ijasahnya. Ayat (2) antara lai disebutkan bahwa kenaikan pangkat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat diberikan apabila Pegawai Negeri Sipil diangkat dalam jabatan/diberi tugas yang memerlukan pengetahuan/keahlian sesuai dengan ijasah yang diperoleh.

Kamis, 09 Desember 2010

Penerapan Hukum dengan mentransformasikan Ide Keadilan bagi setiap pencari keadilan







1. Pengantar

Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang berkelompok. Komunitas manusia sengaja membuat tatanan dalam bentuk kaidah-kaidah sosial yang berlangsung sejak berabad-abad silam secara terus menerus. Tatanan sosial ini terlembaga melalui proses pembiasaan (habitualization), yakni tiap-tiap tindakan yang sering diulangi dan akhirnya menjadi suatu pola. Perkembangan ini lama-kelamaan terkristalisasi menjadi kebiasaan (folkways).
Dalam pada itu, terdapat kecenderungan kuat beberapa tata kelakuan diformulasikan dalam hukum-hukum masyarakat. Sebagai kaidah hukum, ia mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, ataupun prosedur apa yang harus dilalui, dimana sanksi-sanksi yang dijatuhkan masyarakat bagi individu yang tidak bisa menyesuaikan diri adalah tegas. Penciptaan hukum tersebut sejalan dengan keinginan alami manusia untuk mendapatkan atau memperoleh keadilan dalam kehidupan bersama sebagai anggota masyarakat, sehingga tercipta keteraturan dan ketertiban dalam suatu tatanan sosial (social order).

2. Hukum Modern

Hukum yang umum dipakai di dunia dewasa ini, yang dikenal sebagai hukum modern adalah hukum yang memiliki tipe khusus, dan mulai muncul sekitar abad ke 18/19.
Hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk formal, dengan prosedur-prosedur dan dengan birokrasi penyelenggaraan hukum. Materi hukum dirumuskan secara terukur dan formal, dan tidak semua orang dapat menjadi operator hukum, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi khusus. Hukum menjadi dunia esoterik, yaitu hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang telah menjalani pendidikan khusus.
Pencarian dan proses keadilan bagi masyarakat yang memerlukannya diserahkan kepada lembaga tertentu yang berwenang. Pengadilan merupakan salah satu tumpuan dalam menyelesaikan sengketa para pihak, ia bertugas sebagai lembaga yang menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sayangnya masyarakat yang datang ke Pengadilan bukan lagi semata untuk mendapatkan keadilan, tetapi untuk menang.
Dengan demikian kita semakin kurang melihat proses hukum sebagai pergulatan manusia untuk memperoleh keadilan, yang lebih banyak kita lihat adalah pergulatan peraturan, Undang-Undang dan prosedur. Out put berupa putusan (vonnis) sangat dipengaruhi oleh sistem dan kemampuan para pihak membuktikan.
Hukumlah yang menentukan kapan seseorang itu ada, kapan seseorang memiliki sesuatu, bagaimana cara untuk memiliki sesuatu, dan seterusnya. Hukum menjadi acuan dalam menyelesaikan konflik/sengketa para pihak.

3. Konkritisasi Hukum

Hukum yang terekam dalam peraturan-peraturan tertulis maupun yang merupakan kaidah hukum dan dalam hukum yang tidak tertulis merupakan sesuatu yang abstrak dan berlaku umum. Sedangkan hukum yang konkrit dan khusus sifatnya manakala telah diterapkan/diberlakukan pada kasus yang tertentu.
Pengadilan melalui putusan-putusan hakim berperan mentranformasikan ide-ide yang bersumber pada nilai-nilai moral yang bersifat abstrak ke dalam peristiwa konkrit, sehingga putusan hakim memfisualisasikan asas-asas yang abstrak menjadi kaidah hukum konkrit.
Dalam setiap perkara akan dilihat, diakui atau dibenarkan telah terjadi peristiwa tersebut. Hakim melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti dalam mendapatkan kepastian peristiwa tersebut dikualifisir termasuk dalam hubungan hukum apa atau yang mana. Hakim akan mencari ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan pada peristiwa hukum yang bersangkutan. Jadi, Hakim akan menerapkan hukum terhadap peristiwa dan menilainya serta pada gilirannya menetapkan hukumnya kepada peristiwa yang bersangkuta, barang tentu ia memberikan keadilan sesuai dengan penilaiannya.
Eksistensi Keadilan memerlukan peranan Hakim dalam penerapannya. Konkretisasi keadilan hanya mungkin bilamana Hakim memahami kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat.

4. Faktor Eksternal dan Internal

Hakim dalam mengaktualisasi ide keadilan memerlukan situasi yang kondusif, baik yang berasal dari faktor eksternal maupun internal dari dalam diri seorang Hakim. Jika ditelusuri, faktor-faktor yang mempengaruhi Hakim dalam mentransformasikan ide keadilan, setidaknya dapat dipetakan sebagai berikut : a. Jaminan terhadap kebebasan peradilan/Hakim; b. Kualitas profesionalisme Hakim; dan c. Penghayatan etika profesi Hakim. Faktor pertama merupakan faktor eksternal, sedangkan dua faktor terakhir merupakan faktor internal.

a. Jaminan Kebebasan Peradilan (Indepedency of Judiciary).

Kebebasan peradilan sudah menjadi keharusan bagi tegaknya negara hukum (rechstaat). Hakim akan mandiri dan tidak memihak dalam memutus sengketa, dan dalam situasi yang kondusif tersebut, Hakim akan leluasa untuk mentransformasikan ide-ide dalam pertimbangan-pertimbangan putusan. Di Indonesia jaminan terhadap indepedency of judiciary telah dipancangkan sebagai pondasi dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945 yang dipertegas dalam penjelasan dimaksud :
“Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinyaterlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para Hakim”.
Hal tersebut dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang

Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan :

“Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian didalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, directiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisiil kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-Undang”.
Kekuasaan kehakiman yang mandiri mempunyai dua tujuan. Pertama agar melakukan fungsi dan kewenangan peradilan secara jujur, dan adil, kedua, agar kekuasaan kehakiman mampu berperan melakukan pengawasan terhadap semua tindakan penguasa. Sedangkan konsekuensi dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah :

1). Supremasi hukum.
Setiap penyelesaian sengketa harus sesuai dengan proses yang ditentukan hukum berdasarkan asas :
  • Perlakuan yang sama didepan hukum;
  • Perlindungan yang sama didepan hukum;
2). Peradilan sebagai katup penekan (pressure valve)
Lembaga peradilan diberi wewenang sebagai katup penekan :
  • Atas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh siapapun dan pihak manapun tanpa kecuali;
  • Pelanggaran itu meliputi segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional, ketertiban umum dan kepatutan;
3). Peradilan sebagai tempat terakhir (the last resort) dalam menegakkan kebenaran dan keadilan menempatkan peradilan sebagai tempat terakhir.
4). Peradilan sebagai pelaksana penegakan hukum.
5). Peradilan dibenarkan bertindak “tidak demokratis secara fundamental” :
  • Tidak memerlukan akses dari siapapun;
  • Tidak memerlukan negosiasi dari pihak manapun;
  • Tidak memerulkan “kompromi” dari pihak yang berperkara;
Terdapat kesepakatan umum dalam komunitas Pengadilan di dunia bahwa lembaga peradilan diharapkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
  • Pengadilan memberikan keadilan individu dalam kasus individual.
  • Pengadilan beroperasi secara transparan.
  • Pengadilan menyediakan suatu forum yang tidak memihak dalam meyelesaikan sengketa hukum.
  • Pengadilan melindungi warga dari penggunaan kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang.
  • Pengadilan melindungi yang lemah.
  • Pengadilan membuat dan merawat catatan formal tentang putusan dan status hukum.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, sebenarnya pengaturan tentang kemandirian kekuasaan kehakiman tampak kokoh.

b. Kualitas Profesionalisme Hakim

Setiap Hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, yakni kemampuan dan ketrampilan Hakim untuk melaksanakan efesiensi dan efektifitas putusan. Baik dari segi penerapan hukumnya, maupun kemampuan mempertimbangkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta kemampuan memprediksi reaksi dan dampak sosial atas putusan yang telah dijatuhkannya.
Profesionalisme ini merupakan salah satu sisi dari mata uang “profesi”, disamping sisi etika profesi. Jadi, setiap profesi mempunyai dua aspek, yakni profesionalisme sebagai keahlian teknis dan etika profesi sebagai dasar moralita.
Profesionalisme mempunyai peranan yang penting, lebih-lebih Hakim mengemban tanggung jawab dan kewajiban yuridis yang terkait dengan jabatannya. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1974 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 mewajibkan Hakim :
“.....tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. (Pasal 14 ayat (1)).
Dalam upaya mewujudkan profesionalisme Hakim, maka seyogyanya para Hakim memiliki penguasaan ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas, yang tercermin dalam bobot dan untuk putusan yang dijatuhkan dengan kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang berlaku serta mempunyai keberanian menjatuhkan keputusan berdasarkan hukum dan keadilan.

c). Penghayatan Etika Profesi Hakim

Etika profesi Hakim adalah asas-asas moralita yang mendasari profesi Hakim. Bermakna sebagai pegangan dalam bersikap dan bertindak selama mengemban dan menjalankan jabatan Hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) telah merumuskan kode kehormatan Hakim Indonesia dalam bentuk Panca Dharma Hakim, yang merupakan suatu bentuk pengawasan terhadap anggotanya. Panca Dharma Hakim ini merupakan nilai-nilai yang bersifat abstrak, yang terdiri dari :
Kartika : bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

Cakra : berlaku adil;
Candra : bijaksana;
Tirta   : jujur;

Sari : berbudi luhur;

5. Persfektif Masyarakat terhadap Putusan (Hakim)

Putusan Hakim yang wujudnya terdiri dari susunan kata (bahasa) yang sebenarnya mengandung kegiatan berfikir yuridik dari pembuatnya (Hakim). Ia akan mengkonstatir, mensistimatir serta menyimpulkan. Kegiatan ini nampak teraplikasi dalam pemenuhan suatu peraturan hukum yang akan diterapkan pada kumpulan peristiwa yang dikemukakan para pihak, ataupun dalam pola pikir pertimbangan (motivasi), sehingga antara pertimbangan hukum dan keputusannya (amar) mempunyai suatu rangkaian yang logis. Tetapi yang tidak kalah pentingnya, secara konseptual putusan harus memberikan keadilan individu dalam setiap kasus (perkara).
Bagi setiap individu yang paling penting putusan itu cocok dan memenuhi rasa keadilan. Sayangnya karena perkara itu terdapat dua pihak yang berkonflik, maka terdapat presepsi yang berbeda dalam menyikapi suatu putusan. Pihak yang kalah cenderung berkata, tidak adil, terdapat kolusi dan berbagai nada lain yang mendiskreditkan Pengadilan.
Secara psikologis, setiap orang berkeinginan hidup bahagia dan menghindar dari kesengsaraan, sehingga manakala dinyatakan kalah akan mencari upaya untuk memperbaiki posisinya. Undang-Undang telah memberikan ketentuan untuk melakukan upaya hukum, jika ia tidak puas dengan putusan Hakim. Akan tetapi setelah sampai tingkat peradilan tertinggi-pun bahkan ketika kasusnya akan dieksekusi tidak secara sukarela melaksanakan bunyi putusan. Hal ini tentunya menjadi beban Pengadilan.
Sebagai bandingan di Amerika Serikat, bagi warga negara yang telah diputus (perdata) akan melakukan/melaksanakan bunyi putusan secara sukarela dan damai. Bilamana hal itu tidak terjadi, maka yang bersangkutan berhadapan dengan ancaman pidana.

6. Penutup

a. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, hakim berwenang menetukan hukum dan keadilan bagi setiap individu yang berperkara.
b. Hakim harus memberikan keadilan kepada setiap pihak dan proses penyelesainnya tidak memihak.
c. Budaya masyarakat cenderung menolak putusan (perdata) dan pelaksanaan putusan (eksekusi) memerlukan upaya paksa.

PENERIMAAN BERKAS PERKARA PIDANA Berdasarkan KUHAP Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 1-2.

  1. MEJA PERTAMA
    1. Menerima berkas perkara pidana, lengkap dengan surat dakwaannya dan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut.
Terhadap perkara yang terdakwanya ditahan dan masa tahanan hampir berakhir, petugas segera melaporkan kepada Ketua Pengadilan.
  1. Berkas perkara dimaksud di atas meliputi pula barang-barang bukti yang akan diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, baik yang sudah dilampirkan dalam berkas perkara maupun yang kemudian diajukan ke depan persidangan.
Barang-barang bukti tersebut didaftarkan dalam register barang bukti.
  1. Bagian penerimaan perkara memeriksa kelengkapan berkas. Kelengkapan dan kekurangan berkas dimaksud diberitahukan kepada Panitera Muda Pidana.
  2. Dalam hal berkas perkara dimaksud belum lengkap, Panitera Muda Pidana meminta kepada Kejaksaan untuk melengkapi berkas dimaksud sebelum diregister.
  3. Pendaftaran perkara pidana biasa dalam register induk, dilaksanakan dengan mencatat nomor perkara sesuai dengan urutan dalam buku register tersebut.
  4. Pendaftaran perkara pidana singkat, dilakukan setelah Hakim melaksanakan sidang pertama.
  5. Pendaftaran perkara tindak pidana ringan dan lalu lintas dilakukan setelah perkara itu diputus oleh pengadilan.
  6. Petugas buku register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait, semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara dan pelaksanaan putusan ke dalam register induk yang bersangkutan.
  7. Pelaksanaan tugas pada Meja Pertama, dilakukan oleh Panitera Muda Pidana dan berada langsung dibawah koordinasi Wakil Panitera.
MEJA KEDUA
  1.  
    1. Menerima pernyataan banding, kasasi, peninjauan kembali dan grasi/ remisi.
    2. Menerima dan memberikan tanda terima atas:
      1. Memori banding;
      2. Kontra memori banding;
      3. Memori kasasi;
      4. Kontra memori kasasi;
      5. Alasan peninjauan kembali;
      6. Jawaban/tanggapan peninjauan kembali;
      7. Permohonan grasi/remisi;
      8. Penangguhan pelaksanaan putusan.
PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DENGAN ACARA SINGKAT
  1. Berdasarkan pasal 203 KUHAP maka yang diartikan dengan perkara acara singkat adalah perkara pidana yang menurut Penuntut Umum pembuktian serta penerapan hukumnya mudah dan sifatnya sederhana.
  2. Pengajuan perkara pidana dengan acara singkat oleh Penuntut Umum dapat dilakukan pada hari-hari persidangan tertentu yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan,.
  3. Pada hari yang telah ditetapkan tersebut penuntut umum langsung membawa dan melimpahkan perkara singkat kemuka Pengadilan.
  4. Ketua Pengadilan Negeri sebelum menentukan hari persidangan dengan acara singkat, sebaiknya mengadakan koordinasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri setempat dan supaya berkas perkara dengan acara singkat diajukan tiga hari sebelum hari persidangan.
  5. Penunjukan Majelis/ Hakim dan hari persidangan disesuaikan dengan keadaan di daerah masing-masing.
  6. Pengembalian berkas perkara kepada kejaksaan atas alasan formal atau berkas perkara tidak lengkap. 
  7. Pengembalian berkas perkara dilakukan sebelum perkara diregister.
  8. Cara pengembalian kepada kejaksaan dilakukan secara langsung pada saat sidang di pengadilan tanpa prosedur adminstrasi.
  9. Dalam acara singkat, setelah sidang dibuka oleh Ketua Majelis serta menanyakan identitas terdakwa kemudian Penuntut Umum diperintahkan untuk menguraikan tindak pidana yang didakwakan secara lisan, dan hal tersebut dicatat dalam Berita Acara Sidang sebagai pengganti surat dakwaan (pasal 203 ayat 3 KUHAP).
  10. Tentang pendaftaran perkara pidana dengan acara singkat, didaftar di Panitera Muda Pidana setelah Hakim memulai pemeriksaan perkara.
  11. Apabila pada hari persidangan yang ditentukan terdakwa dan atau saksi-saksi tidak hadir, maka berkas dikembalikan kepada Penuntut Umum secara langsung tanpa penetapan, sebaiknya dengan buku pengantar (ekspedisi).
  12. Hakim dalam sidang dapat memerintahkan kepada penuntut umum mengadakan pemeriksaan tambahan untuk menyempurnakan pemeriksaan penyidikan jika hakim berpendapat pemeriksaan penyidikan masih kurang lengkap.
  13. Perintah pemeriksaan tambahan dituangkan dalam surat penetapan.
  14. Pemeriksaan tambahan dilakukan dalam waktu paling lama 14 hari, sejak penyidik menerima surat penetapan pemeriksaan tambahan (pasal 203 ayat 3 huruf b KUHAP).
  15. Jika hakim belum menerima hasil pemeriksaan tambahan dalam waktu tersebut, maka hakim segera mengeluarkan penetapan yang memerintahkan supaya perkara diajukan dengan acara biasa.
  16. Pemeriksaan dialihkan ke pemeriksaan acara cepat dengan tata cara sesuai Pasal 203 ayat (3) huruf b KUHAP.
  17. Untuk kepentingan persidangan Hakim menunda persidangan paling lama 7 hari.
  18. Putusan perkara pidana singkat tidak dibuat secara khusus tetapi dicatat dalam Berita Acara Sidang.
  19. BAP dibuat dengan rapi, tidak kotor, dan tidak menggunakan tip ex jika terdapat kesalahan tulisan diperbaiki dengan renvoi.
  20. Ketua Majelis Hakim / Hakim yang ditunjuk bertanggung-jawab atas ketepatan batas waktu minutasi.
  21. Paling lambat sebulan setelah pembacaan putusan, berkas perkara sudah diminutasi.
  22. Hakim memberikan surat yang memuat amar putusan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya, dan penuntut umum.
Sumber diolah dari: 
  1.  UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  2.  Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 28-29. 
  3.  "Tata Cara Pemeriksaan Administrasi Persidangan” dalam buku Tata Laksana Pengawasan Peradilan, Buku IV, Edisi 2007, Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, 2007, hlm. 138-140. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 145/KMA/SK/VIII/2007 tentang Memberlakukan Buku IV Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Badan-Badan Peradilan.  
PEMERIKSAAN PERKARA PIDANA DENGAN ACARA CEPAT
  1. TINDAK PIDANA RINGAN:
    1. Pengadilan menentukan hari tertentu dalam 7 (tujuh) hari untuk mengadili perkara dengan acara pemeriksaan tindak pidana ringan.( Psl 206 KUHP )
    2. Hari tersebut diberitahukan Pengadilan kepada Penyidik supaya dapat mengetahui dan  mempersiapkan pelimpahan berkas perkara tindak pidana ringan. Pengadilan Negeri Jombang hari sidang perkara Cepat / Ringan sudah ditentukan pada Hari Rabu ;
    3. Pelimpahan perkara tindak pidana ringan, dilakukan Penyidik tanpa melalui Penuntut Umum. (Psl 205 ayat 2 KUHP)
    4. Penyidik mengambil alih wewenang aparat Penuntut Umum. (Psl 205 ayat 2 KUHAP)
    5. Dalam tempo 3 (tiga) hari Penyidik menghadapkan segala sesuatu yang diperlukan ke sidang, terhitung sejak Berita Acara Pemeriksaan selesai dibuat Penyidik. (Psl 205 ayat 2 KUHAP)
    6. Jika terdakwa tidak hadir, Hakim dapat menyerahkan putusan tanpa hadirnya terdakwa;
    7. Setelah Pengadilan menerima perkara dengan Acara Pemeriksaan Tindak Pidana Ringan, Hakim yang bertugas memerintahkan Panitera untuk mencatat dalam buku register. (Psl 207 ayat 2 a KUHAP)
    8. Pemeriksaan perkara dengan Hakim tunggal (Psl 205 ayat 3 KUHAP).
    9. Saksi tidak mengucapkan sumpah atau janji kecuali hakim menganggap perlu untuk itu (Psl 208 KUHP).
    10. Pemeriksaan perkara tidak dibuat BAP, karena Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat oleh penyidik sekaligus dianggap dan dijadikan BAP Pengadilan (Psl 209 ayat 2 KUHAP).
    11. BAP Pengadilan dibuat, jika ternyata hasil pemeriksaan sidang Pengadilan terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat Penyidik. (Psl 209 ayat 2 KUHAP).
    12. Putusan dalam pemeriksaan perkara tindak pidana ringan tidak dibuat secara khusus dan tidak dicatat / disatukan dalam BAP. Putusannya cutup berupa bentuk catatan yang berisi amar-putusan yang disiapkan/dikirim oleh Penyidik (Psl 209 ayat 1 KUHAP).
    13. Catatan tersebut ditanda tangani oleh Hakim. (Psl 209 ayat 1 KUHP).
    14. Catatan tersebut juga dicatat dalam buku register. (Psl 209 ayat 1 KUHP).
    15. Pencatatan dalam buku register ditandatangani oleh Hakim dan Panitera sidang. (Psl 209 ayat 1 KUHP).
Sumber diolah dari: 
UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  1. PERKARA PELANGGARAN LALULINTAS JALAN
    1. Catatan pemeriksaan yang dibuat Penyidik, memuat dakwaan dan pemberitahuan diserahkan kepada Pengadilan selambat-lambatnya pada kesempatan hari sidang pertama.
    2. Panitera dalam pemeriksaan sidang tidak perlu membuat berita acara. Putusan adalah berupa catatan Hakim dalam formulir tilang dan Panitera Pengganti melapor pada  petugas register untuk mencatat dalam buku register.
    3. Pada hari dan tanggal yang ditentukan dalam pemberitahuan pemeriksaan terdakwa atau wakilnya tidak datang di sidang Pengadilan pemeriksaan perkara tidak ditunda tetapi dilanjutkan.
    4. Dalam hal putusan diucapkan diluar hadirnya terdakwa, Panitera segera menyampaikan surat amar putusan kepada terdakwa melalui Penyidik.
    5. Penyidik mengembalikan surat amar putusan yang telah diberitahukan itu kepada Panitera.
    6. Panitera meneliti apakah dalam surat amar putusan terdapat tanggal serta tanda tangan terpidana.
    7. Tenggang waktu mengajukan perlawanan 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal pemberitahuan putusan kepada terpidana.
    8. Panitera memberitahukan kepada Penyidik tentang adanya pengajuan perlawanan dari terpidana.
    9. Pemberitahuan disusul dengan Penetapan Hakim tentang hari sidang untuk memeriksa kembali perkara yang bersangkutan.
    10. Pengembalian barang sitaan/ bukti segera setelah putusan dijatuhkan dan setelah yang bersangkutan memenuhi amar putusan.
Sumber:
  1. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  2. “Tata Cara Pemeriksaan Administrasi Persidangan” dalam buku Tata Laksana Pengawasan Peradilan, Buku IV, Edisi 2007, Badan Litbang Diklat Kumdil MA RI, 2007, hlm. 140-142. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 145/KMA/SK/VIII/2007 tentang Memberlakukan Buku IV Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Badan-Badan Peradilan.
PENGGELEDAHAN
  1. Sesuai Pasal 33 ayat (1) KUHAP hanya penyidik yang dapat melakukan penggeledahan rumah dengan surat izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.
  2. Dalam hal rumah yang akan digeledah terletak di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, maka Ketua Pengadilan Negeri dari daerah tersebut hanya mengetahuinya.
  3. Apabila perkara yang bersangkutan belum dilaporkan kepada Pengadilan Negeri di tempat kejadian perkara yang menurut ketentuan yang berlaku adalah Pengadilan Negeri yang berwenang mengadili perkara tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri dalam wilayah hukum dimana rumah tersebut terletak, wajib memberi izin penggeledahan.
  4. Dalam tindak pidana koneksitas yang berwenang memberi izin penggeledahan adalah Ketua Pengadilan dimana perkara tersebut akan diajukan.
  5. Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa terlebih dahulu memperoleh izin dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (Pasal 34 KUHAP), dengan kewajiban segera melaporkan hal tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh persetujuan.
  6. Kata "segera" adalah waktu yang wajar pada kesempatan yang pertama apabila situasi dan kondisi sudah memungkinkan, dan terhadap permohonan persetujuan tersebut Ketua Pengadilan Negeri tidak boleh menolak.
  7. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  8. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 52-53.
PENYITAAN
  1. Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana barang yang akan disita berada, berwenang untuk memberikan izin/ persetujuan penyitaan atas permohonan penyidik.
  2. Apabila perkara tersebut dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri di tempat terjadinya tindak pidana, maka yang berwenang memberi izin penyitaan adalah Ketua Pengadilan Negeri tersebut, sedangkan Ketua Pengadilan Negeri di wilayah mana barang yang akan disita itu berada, hanya "Mengetahui".
  3. Apabila dalam persidangan Hakim memandang perlu dilakukan penyitaan atas suatu barang, maka perintah Hakim untuk melakukan penyitaan ditujukan kepada Penyidik melalui Penuntut Umum.
  4. Ketentuan mengenai penyitaan, yang terdapat dalam KUHAP berlaku pula untuk tindak pidana khusus (misalnya tindak pidana korupsi) sepanjang tidak diatur lain.
  5. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  6. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 53-54.
PENAHANAN DAN PERPANJANGAN PENAHANAN
  1. Penahanan terhadap tersangka/ terdakwa dapat diperintahkan oleh Penyidik, Penuntut Umum atau oleh Hakim berdasarkan ketentuan undang¬-undang yang berlaku.
  2. Dalam masalah penahanan, maka sisa masa penahanan yang menjadi tanggung jawab penyidik tidak boleh dipakai oleh Penuntut Umum untuk kepentingan penuntutan.
  3. Perhitungan pengurangan masa tahanan dari pidana yang dijatuhkan harus dimulai dari sejak penangkapan/ penahanan oleh Penyidik, Penuntut Umum, dan Pengadilan.
  4. Untuk menghindari kesalahpahaman di pihak Kepala Lembaga Pemasyarakatan dalam menghitung kapan tersangka/ terdakwa harus dikeluarkan dari Lembaga Pemasyarakat maka tenggang-tenggang waktu penahanan harus disebutkan dengan jelas dalam putusan.
  5. Sejak perkara terdaftar di Register Pengadilan Negeri maka tanggung jawab atas perkara tersebut beralih pada Pengadilan Negeri, dan sisa masa penahanan Penuntut Umum tidak boleh diteruskan oleh Hakim.
  6. Apabila tersangka tidak ditahan maka jika Hakim bermaksud menggunakan perintah penahanan harus dilakukan dalam sidang (Pasal 20 ayat (3) KUHAP).
  7. Apabila tersangka atau terdakwa sakit dan perlu dirawat di rumah sakit, sedangkan ia dalam keadaan ditahan, maka penahanan tersebut dibantar selama dilaksanakan perawatan di rumah sakit.
  8. Masa penahanan karena tersangka atau terdakwa diobservasi karena diduga menderita gangguan jiwa sejak tersangka atau terdakwa diobservasi ditangguhkan.
  9. Dalam hal Ketua Pengadilan Negeri mengabulkan permohonan perpanjangan penahanan yang diajukan oleh Penuntut Umum berdasarkan Pasal 25 KUHAP tidak dibenarkan untuk sekaligus mengalihkan jenis penahanan.
  10. Penangguhan penahanan dapat dikabulkan apabila memenuhi syarat yang ditentukan dalam pasal 31 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 35, 36 PP No. 27 tahun 1983.
  11. Yang dapat mengajukan permohonan penang¬guhan adalah tersangka/ terdakwa (Pasal 31 ayat (1) KUHAP).
  12. Besarnya uang jaminan ditentukan Hakim dengan memperhatikan berat ringannya tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa, kedudukan terdakwa/ penjamin dan kekayaan yang dimiliki olehnya.
  13. Uang jaminan tersebut harus diserahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. Uang jaminan yang diminta Penuntut Umum ataupun Pengadilan Tinggi tetap harus diserahkan dan disimpan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri (Pasal 35 PP No. 27 tahun 1983).
  14. Apabila terdakwa melarikan diri dan setelah lewat waktu 3 (tiga) bulan tidak diketemukan, maka uang jaminan tersebut berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan menjadi milik negara, dan disetor ke kas negara.
  15. Dalam hal terdakwa melarikan diri, maka penjamin wajib membayar uang jaminan yang telah ditetapkan dalam perjanjian, apabila penjamin tidak membayar, maka melalui penetapan Pengadilan dilakukan penyitaan terhadap barang-barang milik penjamin menurut hukum acara perdata dan kemudian barang tersebut dilelang dan hasil lelang disetor ke kas negara.
  16. Apabila terdakwa melarikan diri, maka penjamin tidak dapat diajukan sebagai terdakwa ke pengadilan dan mengenai persyaratan untuk diterima sebagai penjamin orang tersebut harus memiliki kecakapan untuk bertindak cukup mampu dan bertempat tinggal di Indonesia.
  17. Pasal 21 ayat (4) KUHAP mengatur tentang tindak pidana yang terdakwanya dapat ditahan. Dalam hal ketentuan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP terpenuhi, Hakim dalam amar putusannya berbunyi memerintahkan agar terdakwa ditahan, putusan untuk itu harus disesuaikan dengan rumusan Pasal 197 ayat (1) huruf K KUHAP, yaitu memerintahkan agar terdakwa ditahan.
  18. Untuk menghindari keterlambatan dikeluarkan¬nya penetapan perpanjangan penahanan (Pasal 29 KUHAP) oleh Ketua Pengadilan Tinggi, maka Ketua Pengadilan Negeri harus menyampaikan surat permohonan perpanjangan  penahanan selambat-lambatnya 1O (sepuluh) hari sebelum masa penahanan berakhir.
  19. Dalam hal terdakwa atau Penuntut Umum mengajukan banding, maka kewenangan penahanan beralih ke Pengadilan Tinggi sejak pernyataan banding tersebut.
  20. Permohonan banding harus segera dilaporkan dengan sarana komunikasi tercepat pada hari itu juga kepada Pengadilan Tinggi.
  21. Apabila Ketua/ Hakim Pengadilan Tinggi akan melakukan penahanan, maka penetapan penahanan harus segera dikeluarkan.
  22. Pada azasnya selama tersangka atau terdakwa berada dalam tahanan harus dikurangkan segenapnya dari hukuman yang dijatuhkan oleh Hakim (Pasal 22 ayat (4) KUHAP), akan tetapi apabila ada hal-hal yang khusus, Hakim dapat menjatuhkan putusan tanpa memotong tahanan (Pasal 33 ayat (1) KUHP).
  23. Yang berwenang mengeluarkan tersangka/ terdakwa demi hukum dari tahanan adalah pejabat ditempat mana tersangka/ terdakwa ditahan.
STATUS TAHANAN
  1. Tanggung jawab yuridis penahanan untuk pemeriksaan acara biasa berada pada pengadilan sejak perkara tersebut di limpahkan sedangkan untuk acara pemeriksaan acara singkat sejak saat penyidangan perkara tersebut.
  2. Sejak putusan berkekuatan hukum tetap status terdakwa beralih menjadi narapidana.
  3. Terhadap putusan bebas atau putusan lepas dari tuntutan hukum dimana Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
  4. Apabila masa penahanan telah sama dengan pidana penjara yang diputuskan oleh Pengadilan maka terdakwa dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
  5. Apabila lamanya terdakwa ditahan telah sesuai dengan pidana penjara yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi, maka  Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan terdakwa dikeluar¬kan dari  tahanan demi hukum. Surat perintah tersebut tembusannya dikirim ke Mahkamah Agung dan Jaksa kalau perkaranya kasasi.
  6. Apabila dalam tingkat banding, maka lamanya penahanan telah sama dengan pidana yang dijatuhkan Pengadilan Negeri, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat mengeluarkan dari tahanan atas izin Ketua Pengadilan Tinggi.
  7. Paling lambat 10 (sepuluh) hari sebelum masa penahanan berakhir Pengadilan Negeri wajib menanyakan tentang status penahanan terdakwa kepada Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
Sumber:

 Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 45-50. 

PENGADILAN ANAK

Pengadilan Anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak, dan batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pemeriksaan perkara:
  1. Dalam hal anak melakukan tindak pidana sebelum berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang Pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap diajukan ke sidang anak.
  2. Hakim yang mengadili perkara anak, adalah Hakim yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.
  3. Dalam hal belum ada Hakim Anak, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk Hakim Anak dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, dengan ketentuan yang bersangkutan segera diusulkan sebagai Hakim Anak. 
  4. Hakim Anak memeriksa dan mengadili perkara anak dengan Hakim Tunggal, dan dalam hal tertentu Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk Hakim Majelis (Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya).
  5. Dalam hal anak melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa dan atau anggota TNI, maka anak yang bersangkutan diajukan ke sidang Anak, sedangkan orang dewasa dan atau anggota TNI diajukan ke sidang yang bersangkutan.
  6. Dalam hal anak melakukan tindak pidana HAM Berat, diajukan ke sidang Anak.
  7. Acara persidangan anak dilakukan sebagai berikut:
    1. Persidangan dilakukan secara tertutup;
    2. Hakim, Penuntut Umum dan Penasihat Hukum Terdakwa tidak menggunakan Toga;
    3. Sebelum sidang dibuka, Hakim memerintahkan agar Pembimbing Kemasyarakatan menyampaikan laporan hasil Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) mengenai anak yang bersangkutan;
    4. Selama dalam persidangan, Terdakwa wajib didampingi oleh orang tua atau wali atau orang tua asuh, penasihat hukum dan pembimbing kemasya¬rakatan;
    5. Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Terdakwa dibawa keluar ruang sidang, akan tetapi orang tua, wali atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir;
    6. Dalam persidangan, Terdakwa Anak dan Saksi Korban Anak dapat juga didampingi oleh Petugas Pendamping atas izin Hakim atau Majelis Hakim;
    7. Putusan wajib diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;                                                   Penahanannya:
  1. Hakim di sidang pengadilan berwenang melakukan penahanan bagi anak paling lama 15 (lima belas) hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari;
  2. Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Alasan penahanan harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan;
  3. Tempat penahanan bagi anak harus dipisahkan dari orang dewasa;
Putusan :
  1. Sebelum mengucapkan putusannya, Hakim memberikan kesempatan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh, untuk mengemukakan segala ikhwal yang bermanfaat bagi anak.Putusan wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan.Terhadap anak nakal dapat dijatuhi pidana atau tindakan:
    1. Pidana yang dijatuhkan terdiri dari Pidana Pokok dan Pidana Tambahan. Pidana Pokok meliputi: penjara, kurungan, denda atau pidana pengawasan. Pidana Tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan/atau pembayaran ganti rugi.
    2. Tindakan yang dapat dijatuhkan pada anak nakal berupa:
      1. mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;
      2. menyerahkan pada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau
      3. menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
      4. Terhadap Terdakwa anak sedapat mungkin tidak dijatuhi pidana penjara (vide: UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
      5. Pidana penjara, Pidana kurungan atau Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal paling lama atau paling banyak ½  (satu perdua) maksimum ancaman pidana bagi orang dewasa. Ketentuan ini diberlakukan juga dalam hal minimum ancaman pidana bagi anak (yurisprudensi tetap).
      6. Apabila anal nakal melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak tersebut paling lama 10 tahun, akan tetapi apabila anal nakal tersebut belum mencapai usia 12 (dua belas) tahun, maka terhadap anak nakal tersebut hanya dapat dijatuhi tindakan menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja atau menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
      7. Apabila anal nakal yang melakukan tindak pidana belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun yang tidak diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka terhadap anak nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam butir 3b di atas, dan dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
      8. Dalam hal anak nakal dijatuhi pidana denda dan denda tersebut tidak dapat dibayar, maka diganti dengan wajib latihan kerja.
      9. Wajib latihan kerja sebagai pengganti denda dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja dan lama latihan kerja tidak lebih 4 (empat) jam sehari serta tidak dilakukan pada malam hari.
      10. Pidana bersyarat dapat dijatuhkan Hakim apabila pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun, dan  jangka waktu masa pidana bersyarat paling lama 3 (tiga) tahun.
      11. Dalam hal anak melakukan pelanggaran lalu lintas jalan, diterapkan acara pemeriksaan menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam KUHAP, demi kepentingan anak yang bersangkutan (yurisprudensi tetap).
Sumber :

UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak

Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 83-88.

PRA PERADILAN
  1. Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:
  2. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;
  3. Sah atau tidaknya penghentian penyi¬dikan atau penghentian penuntutan;
  4. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP);
  5. Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP).
2. Yang dapat mengajukan Pra peradilan adalah:
Tersangka, yaitu apakah tindakan penahanan terhadap dirinya bertentangan dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, ataukah penahanan yang dikenakan sudah melawati batas waktu yang ditentukan Pasal 24 KUHAP;
  1. Penyidik untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penuntutan;
  2. Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Yang dimaksud dengan pihak ketiga yang berkepentingan misalnya saksi korban.
  3. Tuntutan ganti rugi, rehabilitasi yang diajukan oleh tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya, harus didasarkan atas:
Penangkapan atau penahanan yang tidak sah;
Penggeledahan atau penyitaan yang pertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang;
Kekeliruan mengenai orang yang ditangkap, ditahan atau diperiksa.

PROSES PEMERIKSAAN PRA PERADILAN
  1. Pra peradilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera (Pasal 78 ayat (2) KUHAP).
  2. Pada penetapan hari sidang, sekaligus memuat pemanggilan pihak pemohon dan termohon pra peradilan.
  3. Dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung permohonan pra peradilan diperiksa, permohonan tersebut harus diputus.
  4. Pemohon dapat mencabut permohonan¬nya sebelum Pengadilan Negeri menja¬tuhkan putusan apabila disetujui oleh termohon. Kalau termohon menyetujui usul pencabutan permohonan tersebut, Pengadilan Negeri membuat penetapan tentang pencabutan tersebut.
  5. Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan sedangkan pemeriksaan pra peradilan belum selesai maka permohonan tersebut gugur. Hal tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN PRAPERADILAN
  1. Putusan pra peradilan tidak dapat dimin¬takan banding (Pasal 83 ayat (1), kecuali terhadap putusan yang menyatakan "tidak sahnya" penghentian penyidikan dan penuntutan (Pasal 83 ayat (2) KUHAP).
  2. Dalam hal ada permohonan banding terhadap putusan pra peradilan sebagai¬mana dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP, maka permohonan tersebut harus dinyatakan tidak diterima.
  3. Pengadilan Tinggi memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghen¬tian penyidikan dan penuntutan dalam tingkat akhir.
  4. Terhadap Putusan pra peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.
Sumber: UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, 2008, hlm. 54-56.

PRINSIP DASAR ATAS 5 ( lima ) AZAS DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

  1. Asas Tingkatan Hirarki
    Maksudnya isi yang terkandung dalam suatu peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan isi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatan atau derajatnya. Asas tingkatan hirarki dapat diperinci lagi menjadi :
    1. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak dapat mengubah atau mengesampingkan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tetapi sebaliknya boleh.
    2. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah, atau ditambah oleh atau dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi tingkatannya.
    3. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila isinya bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
    4. Materi yang seharusnya diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.
  2. Asas Tidak Dapat Diganggu Gugat
    Pada awalnya asaz ini hanya berlaku untuk undang-undang (UU), tetapi dalam perkembangannya sudah dapat diperluas dan berlaku untuk peraturan perundang-undangan di bawah UU, khususnya Peraturan Daerah. Asas ini terkait dengan penentuan luas ruang lingkup materi muaatan UU yang menurut para ahli pada umumnya, dalam arti formele wet materi muatan UU tidak dapat ditentukan lingkup materinya mengingat UU merupakan perwujudan kedaulatan rakyat, kedaulatan bersift mutlak, ke dalam tertinggi di atas segalanya dan keluar tidak bergantung pada siapa pun. Namun demikian, sebagaimana sudah dipraktikkan oleh berbagai Negara, termasuk Indonesia, setiap peraturan perundang-undangan mempunyai materi muatan sesuai dengan tingkatannya. Perkembangan tersebut terkait dengan adanya hak menguji, yang dibedakan menjadi dua : (1) hak menguji secara material, dalam hal ini menguji isi apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, dan (2) hak menguji secara formal, dalam hal ini menguji prosedur apakah semua formalitas atau tata cara pembentukannya sudah dipenuhi atau tidak.
  3. Asas Ketentuan yang Khusus mengesampingkan Ketentuan yang Umum. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sudah lazim digunakan adanya peraturan perundang-undangan yang berlaku secara umum dan ada pula yang berlaku dan mengatur hal-hal yang bersifat khusus. Kekhususan tersebut adalah karena sifat hakikat dari masalah / persoalan dan atau karena kepentingan yang hendak diatur oleh Undang-undang No. 4 tahun 1982 (yang kemudian diganti oleh Undang-undang No. 23 tahun 1997). Disamping itu, untuk hal-hal yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, berdasarkan pasal 12 Undang-undang No. 4 tahun 1982 dibentuk Undang-Undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Hal tersebut berarti bahwa karena Undang-Undang No. 5 tahun 1990 belum dicabut, merupakan ketentuan Undang-undang yang bersifat khusus terhadap Undang-Undang No. 23 tahun 1997. Demikian pula Undang-undang No. 5 tahun 1990 adalah lex spesialis terhadap KUHP jika terjadi pencurian di kawasan konservasi atau mencari flora/fauna yang dikonservasi.
  4. Asas Ketentuan Tidak Berlaku Surut,  pada dasarnya setiap aturan dibentuk atau dibuat untuk mengatur perbuatan hukum atau perilaku di masa yang akan datang. Tidak ada aturan yang dibuat untuk mengatur perbuatan hukum atau perilaku pada masa lalu, sebab jika demikian, tidak akan terwujud apa yang diistilahkan dengan kepastian hukum. Asas nonretroaktif   terkait dengan lingkungan kuasa waktu (temporal sphere), yang merupakan salah satu dari lingkungan kuasa hukum. Lingkungan kuasa hukum lainnya meliputi lingkungan kuasa tempat, lingkungan kuasa persoalan, lingkungan kuasa orang.
  5. Asas Ketentuan yang baru Mengesampingkan Ketentuan yang Lama. apabila ada suatu masalah yang diatur dalam Undang-undang lama, kemudian diatur dalam Undang-undang yang baru, maka ketentuan Undang-undang yang baru yang berlaku. Asas in berlaku apabila masalah yang sama yang diatur terdapat perbedaan, baik mengenai maksud, tujuan, maupun maknanya. Namun demikian, asas ini tidak berlaku mutlak

ASAS-ASAS HUKUM PIDANA

HUKUM PIDANA

Definisi : keseluruhan peraturan yang isinya menunjukkan peristiwapidana yang disertai dengan ancaman hukuman pada penyelenggaranya.

I. Unsur Subyektif : harus ada orang atau pelaku,dimana pelaku tersebut harus memenuhi syarat-syarat:

1. Bertanggung jawab

Sebab ada orang-orang yang hanya “bertanggungjawab sebagian” karena penyakit yang dideritanya, sehingga orang-orang tersebut dapat digolongkan menjadi orang-orang yang bertanggung jawab sebagian, misalnya:

a. Kliptomani adalah seseorang yang menderita penyakit suka mencuri.

Maksudnya ia tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang dilarang oleh UU.
Namun tindakan ini dilakukan semata-mata karena penyakitnya. Seorang Kliptoman tidak bertanggung jawab atas “pencurian” yang dilakukan, tetapi ia akan dimintai pertangungjawaban apabila melakukan tindak pidana lainya seperti membunuh, memperkosa dsb.

b. Pyromani adalah seseorang yang menderita penyakit kejiwaan suka membakar.

Sorang pyromani tidak pernah menyadari bahwa perbuatan“membakar benda/ barang miliki orang lain” adalah suatu perbuatanpidana. Sehingga seorang pyromani tidak bertanggungjawab atas perbuatannya melakukan “pembakaran” , namun ia tetap bertangungjawab atas tindak pidana yang lainnya, misalnya mencuri, membunuh dsb.

c. Nympomani adalah seseorang yang menderita sakit kejiwaan suka berbuat tidak senonoh pada seorang wanita.

Seorang nympomani tidak bertanggungjawab atas perbuatan “tidak senonoh” yang dilakukan,karena ia tidak menyadari bahwa perbuatan tersebut sesungguhnyadilarang oleh UU.
Namun seorang nympomani tetap bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang lain, seperti merusak barang milik orang lain,membunuh, mencurui dsb.

d. Claustrophobi adalah seseorang yang menderita penyakit kejiwaan dimana dia merasa ketakutan yang hebat apabila berada di ruang yang sempit.

Seorang claustrphopie tidak bertanggungjawab apabila diamelakukan sutau perbuatan pidana, seperti merusak pintu untukberusaha keluar di tempat yang sempit.

Catatan : Untuk menyakatan seseorang tidak bertangung jawab atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut di atas, maka tentunya harus ada surat keterangan ahli (Psykolog) yang menyatakan bahwa yang bersangkutan benar-benar menderita penyakit tersebut.

II. Tidak ada alasan pemaaf

Artinya bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan pidana namun karena suatu alasan tertentu, maka perbuatannya tersebut bisa dimaafkan.

Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah:

a. Gila
b. Belum dewasa/ belum cukup umur
c. Di bawah pengapuan.

Jadi apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana tersebut memenuhi salah satu alasan di atas, maka perbuatan tersebut bisa dimaafkan.

Menurut UU, anak yang belum dewasa melakukan suatu perbuatan pidana,ada “Tindakan Tata Tertib” yang akan dilakukan oleh negara antara lain:
  • Tetap menjalani pidana dengan ketentuan pidananya adalah maximal 1/3 dari pidana pokok yang diancamkan kepadanya. Misalnya: seorang anak usia 9 tahun melakukan pembunuhan (ps.238 KUHP) yang ancaman hukumannya 20 tahun, maka ia akan dikenai pidana maximal 1/3 x 18 th = 6 tahun.
  • Dimasukan kedalam “Lembaga Pemasyarakatan Anak” untuk dibina. 
  • Dikembalikan kepada orang tuanya, untuk dididik.
 II. Unsur Obyektif:

bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tersebut haruslah perbuatan yang memenuhi syarat-syarat:

1. Memenuhi unsur-unsur dalam UU artinya bahwa perbuatan tersebut merupaka suatu perbuatan yang dilarang oleh UU.

Jika perbuatan yang dilakukan oleh pelaku tidak memenhui rumusan UU atau belum di atur dalam suatu UU maka perbuatan tersebut bukanlah perbuatan yang bisadikenai ancaman pidana.

2. Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melawan hukum.

3. Tidak ada alasan pembenar;

artinya bahwa meskipun suatu perbuatanyang dilakukan oleh pelaku memenuhi unsur dalam UU dan perbuatantersebut melawan hukum, namun jika terdapat “alasan pembenar”, maka perbuatan tersebut bukan merupakan “perbuatan pidana”.

Yang termasuk alasan pembenar adalah:

a. Perintah UU/ Jabatan;
contoh : Seorang Polisi yang menembak kaki penjahat yang melarikan diri.
Meskipun tindakan Polisi menembak tersebut perbuatan yang dilarang, namun karena hal ini dilakukan perintah jabatan, maka tindakan tersebut bisa dibenarkan.

b. Overmacht;

contoh : seorang bangunan yang roboh karena bencana alam sehingga menimbulkan banyak korban.
Meskipun pemilik bangunan adalh pihak yang bertangungjawab atas robohnya bangunan, namun karena robohnya adalah akibat bencana alam, maka hal ini bisa dibenarkan.

c. Keadaan Darurat/ Daya Paksa.;

contoh : seorang yang membela diri karena terpaksa dengan melukai seorang yang telah menodongkan pistol untuk membunuhnya, akan dibenarkan oleh UU.

KESIMPULAN:

Peristiwa pidana adalah peristiwa yang harus memenuhi dua unsur diatas yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif.

UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA




Pasal 35 

Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang
  1. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
  2. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
  3. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
  4. mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
  5. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
  6. mencegah atau menangkal orang tertentu untuk masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam beberapa leteratur catatan artikel yang pernah saya baca ada beberapa pendapat dari para ahli hukum tentang pemberlakuan dari pasal 35 UU No. 16 Tahun 2004 tersebut diatas Nampak jelas dan tegas diatur bahwa Jaksa Agung dalam hali ini memang diberi kewenangan untuk mengesampingkan perkara demi  kepentingan umum.

Mengesampingkan perkara, demikian penjelasan UU No 26/2004, merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan Jaksa Agung setelah  memerhatikan saran dan pendapat dari badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah itu.

Penjelasan

Pasal 35

Huruf c

Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.
Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Dalam sejarah republik Indonesia, hak oportunitas Jaksa Agung pernah dipakai. Namun, selama ini hak oportunitas itu lebih banyak berkaitan dengan kasus  berbau politis.

"Jaksa Agung Ismail Saleh, misalnya, pernah menggunakan hak  oportunitasnya dalam kasus Jenderal Yasin dalam kasus Petisi 50," kata ahli  hukum pidana, Prof Dr Indriyanto Seno Adji.

Ismail Saleh juga pernah memperluas asas oportunitas bukan hanya dalam  penyampingan perkara demi kepentingan umum, melainkan juga pada pelaksanaan  eksekusi atas kasus Hariman Siregar dan Sjahrir.

Namun, demikian Ismail Saleh  dalam artikel "Meluaskan Ruang Lingkup Asas Opurtunitas", Kompas 9 Januari 1984, agar mendapat pertimbangan yang obyektif setiap kebijaksanaan  memanfaatkan asas oportunitas masih memerlukan fatwa dari Mahkamah Agung.

Wakil Ketua Komisi III DPR, Azis Syamsudin ketika membahas persoalan pra peradilan Bibit-Chandra dan deponering yang dikeluarkan Kejaksaan Agung.

Menyatakan bahwa, seharusnya keputusan mengeluarkan deponeering oleh Kejaksaan Agung harus benar-benar diteliti dan dipertimbangkan kembali. Karena harus melalui tahapan meminta pertimbangan kepada legislatif.

"Itu harus mendapat persetujuan legislatif," jelasnya. Politisi Partai Golkar tersebut menjelaskan bahwa setelah tahapan SKPP menurut peraturan di Undang-undang Kejaksaan pasal 35 jelas menyatakan deponeering tidak dapat dikeluarkan.

Kembali lgi pada pandangan Ismail Saleh  tersebut menimbulkan tanggapan dari Nasroen Yasabari (Kompas,19 Januari 2004) dalam artikel berjudul "Mempersoalkan Asas Oportunitas".  Nasroen mempertentangkan asas oportunitas dengan prinsip kesamaan di muka hukum.

Dari catatan singkat diatas, dapat kita jumpai beberapa perdebatan hukum yang pada akhirnya bisa kita jadikan bahan diskusi dalam kasus FB ini diantaranya adalah sbb :
  1. Apakah secara inplisit deponering yang akan dan / atau sudah dikelurkan oleh Jaksa Agung harus mendapatkan ersetujuan dari legislative ?
  2. Dapatkah deponering tersebut diajukan setelah SKPP dikeluarkan oleh Jaksa Agung dan bahkan sudah mendapatkan putusan Pra Peradilan secara incraht atas dasar pertimbangan politik ?
  3. Sejauh mana kasus Bibit - Candra ini dapat dikatagorikan perkara demi kepentingan umum ?