Senin, 13 Desember 2010

Hukum sebagai Produk Politik Tertinggi

                    

Pendahuluan
Berdasar asumsi bahwa hukum adalah produk politik maka tampaklah fakta di depan kita bahwa begitu politik berubah hukum juga berubah. Kita menyaksikan sendiri betapa begitu rezim Orde Baru jatuh maka hampir semua hukum atau UU produk politik Orde Baru diganti. Penggantian itu mula-mula menyentuh level UU sehingga kits melihat terjadinya penggantian UU kepartaian, UU lembaga perwakilan, UU pemilu, UU Pemerintahan Daerah, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Tindak Pidana Korupsi, Pencabutan UU Subversi, dan sebagainya. Sampai dengan tahun 2007 ini rezim reformasi sudah melahirkan tidak kurang dari 200 UU yang lebih dari 30 di antaranya adalah UU yang lahir dari hak inisiatif DPR.
Perubahan itu kemudian (sejak tahun 1999) menyentuh level yang lebih tinggi daripada UU yakni Tap MPR dan UUD. Mula-mula beberapa Tap MPR dicabut dan diganti serta dibuat Tap­tap MPR yang barn yang dianggap lebih demokratis. Kemudian dilakukan perubahan (amandemen) terhadap UUD yang dikerjakan dalam empat tahap dan meniadakan Ketetapan MPR sebagai bagian dari peraturan perundang undangan di dalam tata hukum kita.
 Perubahan UUD kita setelah reformasi ini hanyalah sate kali tetapi disahkan dalam empat tahap.  Karena sebenarnya selama empat tahun MPR tak berhenti membahas perubahan itu, hanya saja pengesahannya dilakukan setiap bulan Agustus sesuai dengan capaian tahapan perubahan itu. Antara bulan Agustus setelah pengesahan ke bulan Agustus tahun berikutnya MPR melalui Panitia Ad Hoc I tak pernah berhenti membahas perubahan UUD tersebut. Oleh sebab itu tidaklah benar kalau dikatakan bahwa MPR terlalu ceroboh karma dalam empat tahun mengubah UUD sampai empat kali. Yang benar selama empat tahun itu MPR hanya sekali mengubah UUD karma faktanya perubahan itu berkelanjutan dan bukan mengamandemen terhadap basil amandmen tahun sebelumnya. Perubahan itu didasarkan pada kesepakatan dasar dengan satu konsepsi tertentu yang dipatok sejak tahun 1999. Namun karena proses pembahasan dan perdebatannya panjang maka pengesahaannya dilakukan secara bertahap setiap Sidang Tahunan MPR pada bulan Agustus sesuai dengan capaian pembahasan dan kesepakatan setiap tahun . Hasilnya menimbulkan perdebatan dan kekecewaan di kalangan sebagian masyarakat itu adatah biasa, sebab, apa pun isi dan hasil amandemen itu merupakan kesepakatan politik yang pasti ada yang setuju dan ada yang tak setuju. Yang penting prosedurnya benar dan demokratis, sebab kata KC Wheare konstitusi itu merupakan resultante atau kesepakatan-kesepakatan politik sesuai dengan situasi poleksosbud dan waktu tertentu. Sebagai kesepakatan politik amat sulit mengharapkan sebuah konstitusi disetujui oleh semua orang. Bahwa hasil perubahan itu secara struktur dan sistematika terlihat buruk, juga disebabkan oleh karena kesepakatan-kesepakatan yang harus dibuat dan kemudian tak dapat dihindari.

KKN Tetap Subur, Hukum Tetap Bobrok

Mungkin banyak di antara kita yang kecewa ketika ternyata setelah sembilan tahun reformasi KKN bukannya hilang, tetapi semakin merebak dan menjadi wabah menular termasuk kepada pejuang-pejuang reformasi. Kita dikejutkan oleh tragedi korupsi di KPU yang melibatkan mantan aktivis LSM penegakan hukum dan HAM serta beberapa guru besar yang dulunya menawarkan konsep-konsep reformasi. Kita tersentak ketika Menteri Agama dan salah seorang dirjennya dijatuhi hukuman penjara karena terbukti mengorupsi Dana Abadi Ummat. Bahkan kita bergidik ketika Dirut Bulog ditangkap dengan tuduhan korupsi ratusan miliar rupiah yang diduga melibatkan isteri, anak, saudara, dan menantunya. Kita terhenyak ketika seorang guru besar yang tampak sederhana dan berlatar belakang santri yakni mantan menteri kelautan dan perikanan diadili karena melakukan korupsi dan menyebar ranjau korupsi. Hampir semua tokoh politik yang dikenal sebagai pelopor-pelopor reformasi diciprati dengan dana nonbujeter DKP yang diduga kuat merupakan hasil korupsi.
Akibat ranjau korupsi yang menggila seperti itu maka banyak politisi dan aparat penegak hukum yang kemudian melakukan politik kancil pilek atau politik sariawan. Para politisi yang tadinya galak kemudian menjadi berperangai halus dan arif dan meminta tak buru-buru memvonis orang korupsi serta ber-suudzdzan. Aparat penegak hukum jerih, saling lempar badan karena tak mau berbenturan dengan partai politik yang pimpinannya diindikasikan terlibat korupsi. Padahal semua aparat penegak hukum langsung dapat bergerak untuk memroses dugaan tindak pidana yang bisa dijerat dengan berbagai kategori: korupsi. Pencucian uang, gratifikasi, dan pidana pemilu.
Mengapa KKN merajalela dan hukum tetap tak tegak? jawabannya dapat diberikan dengan analisis dari sudut politik maupun dari sudut pembangunan hukum.
Dari sudut politik  sekurang-kurangnya ada empat hal yang menyebabkan keadaan ironis terus berlanngsung.

1. Reformasi hanya memotong. puncak

Ketika melakukan reformasi kita hanya memberhentikan Presiden dan kabinetnya tanpa sekaligus melakukan reformasi birokrasi, padahal birokrasi yang mencakup sistem, prosedur dan para pejabatnya merupakan birokrasi yang sangat korup karena dibangun secara korup pula selama puluhan tahun.
Dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi di dalam birokrasi yang masih korup ini yang terjadi adalah situasi saling blokade dan saling ancam di antara mereka yang harus ditindak dan harus melakukan tindakan karena sama-sama punya masalah korupsi. Seorang yang bertugas melakukan tindakan hukum terpaksa harus berhenti ketika pihak yang akan ditindak menunjuk balik bahwa dirinya pun sebagai aparat yang harus memeriksa juga punya sejarah tidak bersih.
Orang-orang baru yang 'reformis' bisa dikepung oleh kawanan birokrat lama untuk tidak dapat berdaya menghadapi korupsi yang terus berjalan tanpa takut, malah pejabat baru yang hadir dengan misi memberantas korupsi itulah yang dapat teriempar jika mau nekat membersihkan birokrasi . Dalam situasi seperti ini maka seringkali, dan banyak sekali, kasus yang menggegerkan masyarakat tiba-tiba hilang dari pemberitaan yang ketika ditanya ke mana kasus itu jawabannya adalah 'tak cukup bukti. Padahal yang terjadi di sini adalah saling menutupi dari borok korupsi masing-masing dan bukan benar-benar tak cukup bukti awal untuk terus diproses secara hukum.
2. Masih dominannya permainan-permainan

Selain itu keadaan sekarang ini disebabkan juga oleh masih leluasanya pemain-pemain politik lama yang dulunya ikut membangun sistem yang korup untuk terus menguasai panggung politik. Semula, atas nama demokrasi dan perlindungan HAM, kita tidak punya alasan untuk melarang orang tetap aktif di panggung politik. Tapi justru itulah pula yang menyebabkan banyaknya tokoh lama yang tetap leluasa menjadi aktivis parpol. Ketika harus terlempar dari wadah yang lama mereka bisa berloncatan dari parpol lama ke parpol lama yang lain atau mendirikan parpol baru. Oleh sebab itu dalam keadaan seperti sekarang ini tidak dapatlah kita mengatakan ada parpol yang baik atau jelek, sebab dalam kenyataanya di setiap parpol ada orang-orang yang jelek dan ada orang-orang yang baik secara bercampurbaur dengan kecenderungan institusional yang korup. Oleh sebab itu cap "reformis" atau "antireformasi" tak dapat dilekatkan pada satu parpol mana pun melainkan pada orang-orang yang mengendalikan parpol yang dapat berada di parpol mana saja 
3.Politisi baru yang tanpa visi

Banyak juga politisi baru yang hadir ke panggung politik melalui parpol tanpa visi dan misi untuk melakukan reformasi. Mereka hadir ke panggung politik karena tiba-tiba mendapat peluang atas wadah yang harus mereka isi tanpa syarat kualitas tertentu karena memiliki massa pendukung. Bahkan jika dilihat dari fakta banyaknya tokoh-tokoh parpol, terutama di tingkat lokal, yang bermasalah dengan hukum karena KKN, dapat dikatakan bahwa mereka hadir ke panggung politik bukan dengan misi untuk memperbaiki melainkan ingin ikut menikmati juga peluang-peluang KKN yang dulunya tak dapat mereka peroleh.
Keadaan ini disebabkan oleh tidak adanya sumber daya manusia yang cukup berkualitas di kalangan parpol-parpol terutama di tingkat lokal sebagai akibat dari sistem politik Orde Baru yang puluhan tahun sangat hegemonik.

 4. Rekrutmen potitik yang tertutup

Penyebab lainnya adalah sistem rekrutmen politik yang tertutup baik untuk legislatif maupun untuk eksekutif. Jika mengambil contoh kabinet yang memimpin eksekutif sekarang ini maka terlihat bahwa penempatan pejabat-pejabat puncak di eksekutif yang secara formal menjadi hak prerogatif Presiden dalam praktiknya harus dilakukan melalui negosiasi politik antara Presiden dan elit parpol atau pendukung kampanye pilpres dalam rangka kompensasi politik sekaligus menjaga stabilitas pemerintahan. Presiden yang mempunyai niat baik untuk membentuk kabinet yang terdiri dari para ahli dan profesional terjebak dalam transaksi politik yang tak dapat dihindari. Akibatnya pembentukan zaken kabinet (kabinet ahli dan profesional) yang dijanjikan tak bisa dilakukan dengan leluasa, bahkan fit and proper test yang semula dilakukan untuk calon pejabat pada saat terakhir pembentukan kabinet tidak lagi menjadi pertimbangan utama, lebih­-lebih pada saat reshuffle.
Transaksi politik yang seperti ini adalah konsekuensi dari sistem politik kita yang menuntut untuk dilakukan oleh siapa pun yang terpilih menjadi Presiden karena sistem pemerintahannya tidak sinkron dengan sistem kepartaiannya. Makanya yang tampil adalah sistem Presidensial bergaya parlementer.
Untuk lembaga legislatif rekrutmen politik yang tertutup ini terutama melekat pada sistem pemilu yang dipergunakan untuk merekrut wakil-wakil rakyat yakni sistem proporsional tertutup dimanaA6enentuan anggota lembaga perwakilan rakyat dapat dikatakan sepenuhnya tergantung pada pimpinan partai, rakyat hanya memilih gambar parpol sedangkan calon-calon ditetapkan oleh pengurus parpol berdasarkan nomer urut yang dapat disusun berdasar posisi, transaksi, atau kedekatan politik.
Dalam hal-hal yang penting situasi tersebut telah menimbulkan sistem politik yang oligarkis, bukan lagi demokratis, karena demokrasi itu sendiri telah dirampok oleh para elitenya. Maka jangan heran jika kemudian hukum tidak responsif dan pedunia peradilan juga korup sebab tak mungkin hukum dan peradilan itu menjadi baik jika politik yang melatarbelakanginya tidak demokratis melainkan oligarkis seperti sekarang ini.

Peradilan yang juga Korup

Jadi selain lembaga legislatif dan eksekutif kita juga merasakan bahwa judicial corruption di lembaga yudikatif tak kalah maraknya. Kebebasan lebih luas yang diberikan oleh UU Kekuasaan Kehakiman yang baru (mula-mula dimuat di dalam UU No. 35 Tahun 1999) kepada para hakim bukan hanya digunakan oleh hakim untuk bebas dari intervensi kekuatan luar dalam memutus perkara tetapi juga oleh sebagian hakim digunakan sebagai kebebasan untuk melakukan korupsi peradilan dengan berbagai variasinya. Ada kasus Herman Alositandi dan ada kasus Harini Wijoso yang semuanya sudah dihukum.
Ini tragis sebab lembaga peradilan adalah leading sector dalam pemberantasan KKN. Logikanya begitu Indonesia hancur dan terperosok ke dalam krisis karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga peradilan juga korup. Karena lembaga kekuasaan kehakiman yang korup maka lembaga-lembaga penegak hukum yang lain seperti kejaksaan, kepolisian dan pengacara juga menjadi semakin korup.1z Sekarang ini banyak pengacara yang lebih mengandalkan lobi dalam menangani kasus dan bukan mengandalkan kelihaian dalam membangun argumen yuridis. Bahkan untuk kasus-kasus yang melibatkan orang besar Tim Pengacaranya dilengkapi juga dengan tim lobi yang mencari peluang-peluang untuk memenangkan perkara secara manipulatif. Lebih buruk lagi, sekarang ini saksi ahli pun kabarnya bisa dipesan untuk mengatakan hal tertentu dengan tarif tertentu pula.

Kreativitas Korupsi

Ada yang mengatakan bahwa keadaan ini adalah warisan budaya Indonesia. Karena warisan budaya maka kita sangat banyak akal untuk selalu korupsi. Bagaimana pun kita mengatur hal-hal penting agar menjadi baik atau menjadi bersih dari KKN maka peraturan itu menjadi tidak efektif karena selalu dapat diakali untuk dikorupsi atau dimanipulasi. Seperti akan dikemukakan kemudian saya sendiri tidak terlalu percaya bahwa keadaan buruk ini timbul dan berlangsung karena budaya kita memang budaya korup sehingga sangat kreatif untuk korupsi; namun marilah kita lihat contoh betapa memang kreatifnya banyak di antara kita untuk melakukan korupsi.
1.      Penyatuatapan pembinaan hakim
Dulu kita berteriak agar pembinaan hakim diletakkan di bawah satu atap Mahkamah Agung (MA). Asumsinya jika para hakim bebas dari pengaruh atau intervensi pemerintah maka kinerja hakim akan lebih baik karena dia dapat memutus perkara tanpa harus takut berefek pada status kepegawaian dan stabilitas finansialnya. Namun setelah penyatuatapan itu dilakukan, seperti dikemukakan di atas, dunia peradilan bukan menjadi lebih baik sebab "mafia peradilan" dan judicial corruption yang melibatkan hakim malah semakin marak. Kebebasan yang diberikan kepada hakim ternyata oleh sebagian hakim digunakan bukan sekedar membebaskan diri dari intervensi pemerintah melainkan digunakan untuk berbuat berbagai hal yang tidak patut, termasuk melakukan korupsi.
2.      Penghapusan recall anggota DPR/DPRD
Dulu kita juga selalu berteriak agar tidak ada recall (pemberhentian di tengah jalan) bagi anggota DPR/DPRD kecuali karena meninggal, mengundurkan diri, atau dijatuhi hukuman pidana dengan kualifikasi tertentu. Maksudnya agar para wakil rakyat bisa kritis dan tidak takut untuk menyuarakan aspirasi rakyat. Tetapi setelah tak bisa direcall banyak anggota lembaga perwakilan rakyat yang berperilaku korup dan amoral, banyak yang terlibat korupsi, perjudian, perbuatan asusila, penyalahgunaan narkoba dan sebagainya. Ketika disorot mereka seakan menantang balik karena tidak bisa direcall kecuali setelah ada putusan pengadilan, padahal selain lama proses pengadilan itu masih bisa dikolusikan.
3.      Otonomi luas bagi Daerah
Dulu kita juga meneriakkan agar sistem desentralisasi kita menganut asas otonomi luas dan DPRD diberi kedudukan politik yang kuat sebagai lembaga Legislatif Daerah yang sejajar dengan lembaga Eksekutif Daerah. Tapi yang terjadi sesudah itu adalah merebaknya korupsi di kalangan oknum-oknum anggota DPRD. Banyak anggota DPRD yang kemudian berkolusi atau bahkan memeras kepala daerah dengan ancaman 'halus' LPJ-nya akan ditolak dan/atau akan dijatuhi mosi tak percaya jika permintaan itu tak dipenuhi. Saat pemilihan kepala daerah yang menurut UU No. 22 Tahun 1999 dipilih oleh DPRD banyak oknum anggota DPRD yang diberitakan menjual suaranya kepada calon tertentu. Yang muncul kemudian kepala daerah yang mampu membeli suara terhadap lebih dari separuh dari seluruh anggota DPRD, bukan kepala daerah yang berkualitas dan amanah.

4.      Penghidupan Recall dan Pilkada Langsung
Berdasar pengalaman buruk atau rapor anggota DPRD berdasar UU No. 22 Tahun 1999 itu maka pada tahun 2002 W tentang Parpol dan UU tentang Susduk MPR/DPR/DPD/DPRD diubah lagi dengan menghidupkan kembali lembaga recall yang diserahkan kepada Pimpinan Parpol. Pemilihan kepala daerah pun diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 menjadi pemilihan langsung sehingga anggota DPRD tak bisa lagi menjual suaranya kepada calon kepala daerah.
Tetapi lagi-lagi kreativitas korupsi muncul dari pintu lain. Kalau dulu anggota DPR/DPRD bisa melakukan manipulasi karena tak dapat direcall, sekarang gantian pengurus parpol yang dapat mengancam akan (dan sudah terbukti ada yang) me-recall anggotanya dengan alasan yang masih kontroversial. Pada pihak lain setelah calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih langsung dan anggota DPRD tak dapat menjual suaranya secara eceran maka giliran oknum pengurus parpol yang kini gencar diberitakan memungut uang yang tidak sedikit untuk keluarnya sebuah rekamendasi pencalonan. Kasus pilkada DKI yang kini sedang akan berlangsung sampai sekarang diramaikan oleh gugatan calon-calon yang gagal diusung karena mereka telah membayar uang kepada (oknum) parpol. Sungguh, orang kita ini sangat kreatif untuk korupsi.

Apakah Karena Budaya ?
Tampak dan terasalah bahwa berbagai peraturan perundang-undangan untuk memberantas KKN dan menegakkan hukum selalu bisa diadakan untuk dikorupsi. Inilah yang menjadi argumen bahwa korupsi adalah budaya kita; sebab bagaimana pun kita mengatur untuk mengubah kebiasaan korup itu ternyata selalu muncul kreatif untuk mengakalinya lagi.
 Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian Supreme Court, A Study of Institutional Collapse, mengatakan "nonsens" jika dikatakan korupsi merupakan budaya bangsa Indonesia. Dalam kaitannya dengan dunia peradilan menurut Pompe judicial corruption baru muncul setelah peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan sistem (dan mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer, Itu terjadi ketika Soeharto mulai melangkah untuk mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan kehakiman. Sejak itu, kata Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian amplop atau upeti) di kalangan hakim.
Penulis sependapat dengan Pompe. Hasil studi yang pernah penulis lakukan menunjukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui pimpinan-pimpinan yang tegas dan penuh integritas. Pada periode itu kita mencatat nama harum Jaksa Agung Soeprapto yang tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, ke pengadilan karena melakukan tindak pidana; begitu juga pada saat itu terlihat munculnya hakim-hakim yang jujur dan berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.
Dengan demikian pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak dapat kita terima karena dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan fakta sejarah; kedua, kalau kita mempercayai pandangan itu berarti percaya pula bahwa ape pun yang akan kita lakukan akan gagal sebab budaya itu sangat sulit untuk diubah.

Ranah Pembangunan Hukum Kita
Jika kita menggunakan teori yang ditawarkan oleh Friedman maka barangkali ada penjelasan atas berbagai persoalan tersebut. Seperti diketahui ranah pembangunan hukum menurut Lawrence M. Friedman sekurang-kurangnya harus menyangkut tiga hal yakni substance (isi atau materi hukum), structure (aparat penegak hukum), dan culture (budaya hukum).
Perubahan yang terjadi pada era reformasi sebagian besar menyangkut pada isi hukum, sedangkan pembangunan struktur hukum baru menyangkut struktur organisasi penegakan hukum tanpa menyentuh para penegak hukumnya. Begitu juga budaya hukum belum banyak disentuh dalam proses reformasi.
Seperti kita ketahui begitu rezim Orde Baru runtuh maka diubahlah semua UU yang dianggap tidak kondusif bagi demokratisasi dan penegakan hukum, mulai dari UU bidang politik, bidang HAM, bidang peradilan, korupsi, pencucian uang dan sebagainya.
Begitu juga kita sudah mengubah bahkan menambah struktur lembaga penegak hukum dengan tujuan agar penegakan hukum, terutama untuk memberantas KKN, bisa berjalan efektif. Pembinaan hakim sudah disatuatapkan di bawah Mahkamah Agung. Kita juga sudah membentuk Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial melalui amandemen konstitusi; bahkan kita juga sudah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi, Peradilan HAM, Peradilan Tipikor, dan berbagai peradilan khusus lainnya. Namun dalam kaitan structure ini kita belum memperbaiki birokrasi dalam arti pejabat penegak hukum sehingga upaya pemberantasan KKN mengalami komplikasi bahkan blokade dari dalam diri aparat sendiri.
Ada pun pembangunan budaya hukum belum efektif karena tampaknya belum dilakukan secara sungguh-sungguh. Pembangunan budaya hukum di sini harus diartikan sebagai upaya mengubah pemahaman, penghayatan, dan perilaku masyarakat dalam bidang hukum agar menjadi kondusif bagi penegakan hukum. Pembangunan budaya hukum harus dilakukan bukan karena budaya hukum kita merupakan budaya korup, melainkan karena kita perlu menghidupkan kembali budaya hukum yang baik yang telah lama kita miliki.
Belajar dari fakta sejarah, ketegasan dalam penegakan hukum merupakan kunci penting untuk mengatasi berbagai problem yang kita hadapi terutama untuk membangun budaya disiplin dan ketaatan hukum. Selama ini kita sudah sangat banyak memproduk berbagai W untuk mengatur langkah mencapai tujuan reformasi, tetapi belum banyak pemimpin-pemimpin yang tegas dan berani menegakkan hukum.
 
Langkah-langkah
Mengingat berbagai persoalan yang dikemukakan pada awal tulisan ini maka selain mencari "penegak hukum" yang tegas dan berani ada beberapa langkah lain yang juga perlu dilakukan secara serius dan simultan.
Pertama, melakukan reformasi birokrasi agar segera bersih dari sistem, prosedur, dan pejabat-­pejabat yang korup. Selama ini kita selalu menyatakan yakin bahwa salah satu kunci penting keberhasilan reformasi adalah reformasi 6irokrasi, tetapi langkah nyata dan tegas ke arah itu belum juga dilakukan.
Kedua, memutus hubungan secepatnya dengan persoalan-persoalan KKN yang diwariskan oleh Orde Baru agar kita keluar dari blokade yang mengepung dari berbagai lini. Pemutusan hubungan ini bisa dengan radikal (amputasi tanpa pandang bulu) dan bisa juga dengan kompromi (ampuni dan rekonsolidasi dengan pemakluman) yang kemudian ditindaklanjuti dengan tindakan-tindakan tegas.
Ketiga, membangun sistem rekrutmen politik yang demokratis dan terbuka melalui pemilu dengan sistem proporsional terbuka. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka dapat menyeim6angkan peran parpol untuk menyeleksi kader-kadernya dan peran rakyat pemilih untuk menentukan sendiri wakil-wakilnya yang akan duduk di legislatif sesuai dengan yang ditawarkan. oleh parpol. Pemilu dengan sistem proporsional terbuka juga lebih sesuai dengan realitas bangsa Indonesia yang majemuk. Untuk lembaga eksekutif sistem pemilihan Presiden secara langsung harus disertai dengan instrunmen atau subsistem rekrutmen pejabat yang mendorong Presiden membentuk zaken kabinet (kabinet ahli, bersih, dan profesional) dengan membebaskan Presiden dari belenggu untuk melakukan itu karena transaksi politik kompensasi dan dukungan. Adalah fakta sekarang ini Presiden tidak sekuat yang dibayangkan ketika kita menetapkan pemilihan presiden langsung agar Presiden lebih kuat. Sekarang ini Presiden tampak tersandera oleh, dan karenanya selalu memberi kompensasi politik, kepada parpol-parpol agar kebijakannya tidak diganggu. Seleksi pejabat kemudian tidak lagi berdasar keahlian dan profesionalitas melainkan berdasar hasil kompromi dan pertimbangan kompensasi poiitik.


3 komentar:

  1. mengutip kalimat di atas: "Pembangunan budaya hukum di sini harus diartikan sebagai upaya mengubah pemahaman, penghayatan, dan perilaku masyarakat dalam bidang hukum agar menjadi kondusif bagi penegakan hukum".

    benar pak itu salah satunya... di kita ada perilaku yg tanpa kita sadari menjadi jembatan tersamar (laten) yg mengarahkan ke tindak pidana korupsi. Ini adalah kegiatan kelembagaan di lembaga-lembaga pemerintah yg secara peraturan perundang-undangan dilarang untuk dibiayai dengan APBN, namun secara sosial budaya hal itu tdk terhindarkan untuk selalu dilaksanakan.... nah lalu dari mana biayanya...?
    Contoh: gathering, lomba-lomba dan perayaan/ peringatan hari besar/ pahlawan, bingkisan lebaran dll...
    Hemat saya ini harus dirasionalisasi... kalau kita sepakati bahwa itu diperlukan ya mari kita sediakan anggarannya atau dilaksanakan dengan urunan per individu yang peduli, atau kalau tidak ya relakan untuk tidak dilaksanakan ...

    membiarkan kontradiksi antara peraturan perundangan dengan kebutuhan sosial budaya seperti ini akan terus menjerumuskan anak-anak bangsa ke dalam status yg secara hukum salah...

    inilah saya kira penyebab utamanya, penyebab lain yg sistemik juga ada, namun relatif lebih mudah diatasi secara manajemen...

    BalasHapus