Kamis, 09 Desember 2010

PERLUKAH PANITERA PERADILAN TIPIKOR ITU DIDIK SEPERTI HAKIM TIPIKOR ?????, MENGAPA HAL INI LUPUT DARI PERHATIAN MA !!!!

 PENDAHULUAN

Kepaniteraan dan prinsip umum mengenai Kepaniteraan

Proses pertama dari pemeriksaan suatu perkara kedepan persidangan pengadilan adalah pendaftaran perkara. Dalam perkara pidana, perkara diajukan oleh Penuntut Umum dan dalam perkara perdata diajukan oleh penggugat. Suatu perkara yang didaftarkan untuk diperiksa di persidangan pengadilan harus melewati treatment administratif dahulu sebelum dihadapkan di depan hakim dan diperiksa dalam suatu persidangan. Suatu perkara akan diberi nomor perkara, diklasifikasi, dicatatkan dalam buku perkara, diberi jadwal persidangan, dipilih majelis hakim yang akan mengadili dan tahapan-tahapan administrasi pengadilan lainnya. Hal ini dimaksudkan agar perkara selalu diperlakukan dalam koridor tertib administrasi dan teratur guna menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip pemerintahan yang baik di bidang yudisial pada umumnya dan dalam administrasi pengadilan pada khususnya.
Pejabat publik yang bertugas untuk menyelenggarakan fungsi-fungsi tertib administrasi pengadilan adalah Panitera. Sebagaimana diatur dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 45 menyebutkan Panitera adalah Pejabat Pengadilan bersama-sama dengan Hakim, Juru Sita dan Sekertaris.1 Definisi Panitera, Magistrar, Clerk memiliki arti juru tulis; sekertaris; pejabat pengadilan yang membantu hakim dalam persidangan dan membuat berita acara persidangan; pejabat pengadilan yang menyelenggarakan administrasi persidangan dan membantu hakim sidang pengadilan untuk membuat berita acara pemeriksaan sidang.

Tugas dan tanggung jawab Panitera pengadilan diatur antara lain dalam pasal 197, 200, 201, 202, 225, KUHAP dan pasal 121, 182, 186, 192, 197A KUHPerdata. Pasal 11 ayat (3) UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menugaskan Panitera untuk membantu Hakim dalam memeriksa, mengadili dan menutus perkara, Sementara itu dalam Pasal 50 dan 51 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan Panitera menandatangani setiap berita acara persidangan dan Putusan dari perkara yang ditanganinya bersama-sama dengan Hakim.
Panitera adalah pejabat publik kekuasaan yudisial. Sebelum adanya perubahan pertama UU kekuasaan kehakiman di tahun 2004 Kesekertariatan dan Kepaniteraan pengadilan merupakan ranah eksekutif, dimana pengaturan fungsi dan tanggung jawab, pengangkatan pejabatnya dan tanggung jawab anggarannya berada dalam kewenangan eksekutif. Seiring dengan semangat independensi sistem peradilan Indonesia, maka pengaturan mengenai Kesekertariatan dan Kepaniteraan pengadilan sepenuhnya beralih ke yudikatif yang kepada Mahkamah Agung. Sebagai Pejabat Publik, performa Kepaniteraan yang profesional adalah diukur memakai prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Diantaranya adalah transparan dan akuntabel.

Transparansi dan akuntabilitas merupakan prinsip utama dalam pelaksanaan pemerintahan yang baik. Keduanya saling berkaitan satu sama lain. Transparansi adalah ketersediaan informasi yang diberikan kepada masyarakat mengenai aktivitas pemerintahan. Pemerintah (dalam arti luas) bukan hanya harus memberikan informasi, tapi juga harus memastikan sebanyak mungkin warga negara mempunyai akses kepada informasi ini dengan tujuan meningkatkan partisipasi warga negara (dalam proses pemerintahan). Ketiadaan transparansi menciptakan peluang-peluang bagi korupsi di pemerintahan dan mengurangi efisiensi sektor publik. Terkait dengan transparansi adalah isu mengenai akuntabilitas. Akuntabilitas mengandalkan penyusunan kriteria untuk mengevaluasi performa institusi-institusi sektor publik (lembaga-lembaga negara). Termasuk didalamnya akuntabilitas ekonomi dan finansial, mengenai efisiensi dalam penggunaan sumber daya, kontrol pengeluaran dan audit-audit internal dan eksternal. Akuntabilitas meningkatkan legitimasi pemerintah.

Urgensi pembentukan Kepaniteraan Khusus Pengadilan Tipikor

Pasal 22 UU No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan ditetapkan suatu kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Setidaknya ada tiga hal yang mendukung dalil bahwa diperlukan adanya suatu kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yakni:
  • Terkait dgn jenis perkara korupsi, diperlukan adanya perlakuan khusus mengenai pemilahan perkara korupsi. Mengingat jenis perkara korupsi yang menjadi kewenangan dari pengadilan tindak pidana korupsi yaitu, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi dan/atau tindak pidana yang secara tegas disebutkan dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi4
  • Terkait dgn pemilihan komposisi hakim, keunikan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah adanya Hakim Ad hoc dalam Majelis Hakim yang berjumlah 5 orang. Fungsi hakim ad hoc selain sebagai representasi publik juga sebagai ahli yang memiliki ekspertis dalam bidang tertentu yang terkait dengan kejahatan korupsi. Pasal 26 ayat (3) UU No.46 Tahun 2009 mengatur bahwa jumlah dan komposisi hakim ditentukan Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi secara kasuistis. Oleh karena itu, dibutuhkan asistensi secara administratif yang profesional dari suatu kepaniteraan khusus kepada Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi guna memilih majelis hakim yang sesuai dalam menangani suatu perkara.
  • Terkait dengan ketepatan waktu proses pemeriksaan sidang perkara di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 27 ayat (1) UU No.46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi diatur mengenai kewajiban Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menetapkan susunan majelis Hakim dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan penyerahan berkas perkara. Sedangkan ayat (2) mengatur tentang Sidang pertama perkara Tindak Pidana Korupsi wajib dilaksanakan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak penetapan majelis Hakim. Untuk itu, diperlukan Panitera yang hanya memiliki beban kerja mengurus administrasi perkara korupsi saja tanpa mengurusi juga perkara lain, hal ini penting guna menjaga ketepatan waktu sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Selain itu, adanya batasan waktu maksimal pemeriksaan perkara ditiap tingkatan pemeriksaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 32 UU No.46 Tahun 2009, juga membutuhkan kinerja Panitera yang profesional.

Dalam Naskah Akademis RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi versi Masyarakat disebutkan bahwa setidaknya ada dua bagian utama Kepaniteraan khusus Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terdiri atas:

Pertama, Panitera yang mengurusi segala sesuatu yang berkenaan dengan administrasi yang tidak berkaitan dengan perkara, misalnya anggaran belanja pengadilan, termasuk pembelian alat-alat perlengkapan pengadilan, seperti komputer, perekam, renovasi, gaji Hakim, tunjangan Hakim, kenaikan pangkat Hakim, mutasi Hakim, panitera, karyawan, termasuk menyediakan ruang tunggu tempat Penuntut Umum, Advokat dan saksi, ruang sidang yang melindungi Hakim, sarana keamanan, perencanaan pelatihan dan sebagainya.

Kedua, Panitera yang mengurusi perkara. Panitera ini dibantu oleh Panitera Pengganti yang mengurusi perkara mulai dari masuknya berkas perkara sampai dengan putusan. Di bagian inilah berkas perkara diberkaskan. Panitera ini bersama-sama dengan Ketua Majelis yang ditunjuk menyusun court calendar, bersama-sama dengan Jaksa Penuntut Umum menjadwalkan saksi-saksi, saksi ahli, memastikan perlindungan saksi dan korban, memastikan ketersediaan biaya pemanggilan saksi dan korban, memastikan para saksi dapat hadir sehingga tidak mengganggu jadwal sidang. Juga kepada mereka disediakan alat-alat canggih untuk membuat berita acara persidangan, baik pada sidang pendahuluan maupun sidang perkara, transkrip dan sebagainya yang dapat membantu Majelis Hakim. Selama ini hal-hal tersebut diatas dikerjakan sendiri oleh Ketua Majelis Hakim, bahkan terkadang Majelis Hakim menanyakan giliran/acara sidang kepada Jaksa Penuntut Umum pada akhir persidangan mengenai jadwal selanjutnya.

B. ANALISIS

Kemungkinan Pembentukan Kepaniteraan Khusus Pengadilan Tipikor dalam sistem peradilan Indonesia

Pendekatan legal formal dan preseden akan dipakai dalam menelaah kemungkinan pembentukan Kepaniteraan Khusus pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Secara legal formal, dalam Peraturan Presiden No 14 Tahun 2005 tentang Kepaniteraan Mahkamah Agung, juga mengatur mengenai kemungkinan dibentuknya jabatan fungsional kepaniteraan dibawah Kepaniteraan MA, termasuk Pembentukan Sub Kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda berdasarkan analisis kebutuhan dan beban kerja. Sehingga Kepaniteraan khusus pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dapat dibentuk ditingkat kasasi.

Dalam Pasal 26 UU No.2 Tahun 1986 sebagaimana diubah oleh UU No.8 Tahun 2004 sebagaimana diubah kembali oleh UU No.49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, disebutkan bahwa:
  1. Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang Panitera.
  2. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Negeri dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Jurusita.
  3. Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panftera Muda, dan beberapa orang Panitera Pengganti.

Dari ketentuan tentang Peradilan Umum ini, pembentukan Kepaniteraan khusus pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pun tidak terkendala di tingkat pertama maupun banding.
Dalam KMA /004/SK/II/1999 tentang Tata Organisasi dan Tata Kerja Kepaniteraan Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri menegaskan….

Dilihat dari segi preseden, pembentukan kepaniteraan khusus untuk mengakomodasi kebutuhan pembentukan pengadilan khusus pernah dilakukan. Tercatat, ada 6 pengadilan khusus dalam sistem hukum Indonesia dengan berbagai variannya, antara lain, Pengadilan Penyelesaian Hubungan Industrial, Pengadilan Niaga, Pengadilan Pajak, Pengadilan HAM (Ad hoc), Pengadilan Anak, Mahkamah Sya’riah khusus untuk daerah NAD. Dari keenam pengadilan tersebut hanya tiga yang memiliki kepaniteraan khusus, yaitu Pengadilan PHI, Pengadilan Pajak dan Mahkamah Sya’riah.7 Dalam UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, disebutkan bahwa dalam Pengadilan Hubungan Industrial dibentuk suatu Sub Kepaniteraan PHI yang dipimpin oleh seorang Panitera Muda.
Sedangkan Mahkamah Syari’ah, melalui Keputusan Presiden RI No.11 Tahun 2003 tentang Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengatur tentang perubahan status Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di Provinsi NAD menjadi Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi, sehingga secara otomatis semua prasarana dan sarananya berubah status, termasuk Panitera dan Kepaniteraan. Sehingga Kepaniteraan Mahkamah ini menjadi kekhususan dari Kepaniteraan Pengadilan Agama tetapi bukan menjadi Sub Kepaniteraan Pengadilan Agama.
Pengadilan Pajak memiliki keunikan tersendiri. Karena posisinya sebagai quasi yudisial9, artinya pengadilan ini menjalankan fungsi yudisial di ranah eksekutif. Pengadilan hybrid ini menyebabkan pengaturan soal Kesekertariatan dan Kepaniteraannya pun berbeda. Kesekertariatan dan Kepaniteraan Pengadilan ini bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan.

  1.  Dalam penjelasan Pasal 46 huruf e, disebutkan mengenai pejabat pengadilan meliputi sekertaris, wakil sekertaris, wakil panitera, panitera pengganti, juru sita, juru sita pengganti, dan pejabat struktural lainnya.
  2. Kamus Hukum, Dr. Andi Hamzah, SH., Ghalia Indonesia, Cetakan Pertama , Jakarta, 1986, Hal 437-438
  3. Public Governance Indicator: A Literature Review, United Nations Department of Economic and Social Affairs, United Nation Publication, New York, 2007
  4. Pasal 6 Undang-Undang No 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara RI Tahun 2009 N0.155
  5. Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Tim Task Force, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta, 2008, hal 53-54
  6. Pasal 5 Peraturan Presiden No.14 Tahun 2005 tentang Kepaniteraan Mahkamah Agung yang berbunyi “Di lingkungan Kepaniteraan dapat diangkat jabatan fungsional sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku”. Kemudian dalam Pasal 7 disebutkan “Jumlah jabatan fungsional kepaniteraan dan jabatan fungsional lainnya dilingkungan Kepaniteraan Mahkamah Agung disusun berdasarkan analisis organisasi dan beban kerja.”

1 komentar: