Kamis, 09 Desember 2010

Penerapan Hukum dengan mentransformasikan Ide Keadilan bagi setiap pencari keadilan







1. Pengantar

Manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang berkelompok. Komunitas manusia sengaja membuat tatanan dalam bentuk kaidah-kaidah sosial yang berlangsung sejak berabad-abad silam secara terus menerus. Tatanan sosial ini terlembaga melalui proses pembiasaan (habitualization), yakni tiap-tiap tindakan yang sering diulangi dan akhirnya menjadi suatu pola. Perkembangan ini lama-kelamaan terkristalisasi menjadi kebiasaan (folkways).
Dalam pada itu, terdapat kecenderungan kuat beberapa tata kelakuan diformulasikan dalam hukum-hukum masyarakat. Sebagai kaidah hukum, ia mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, ataupun prosedur apa yang harus dilalui, dimana sanksi-sanksi yang dijatuhkan masyarakat bagi individu yang tidak bisa menyesuaikan diri adalah tegas. Penciptaan hukum tersebut sejalan dengan keinginan alami manusia untuk mendapatkan atau memperoleh keadilan dalam kehidupan bersama sebagai anggota masyarakat, sehingga tercipta keteraturan dan ketertiban dalam suatu tatanan sosial (social order).

2. Hukum Modern

Hukum yang umum dipakai di dunia dewasa ini, yang dikenal sebagai hukum modern adalah hukum yang memiliki tipe khusus, dan mulai muncul sekitar abad ke 18/19.
Hukum modern sarat dengan bentuk-bentuk formal, dengan prosedur-prosedur dan dengan birokrasi penyelenggaraan hukum. Materi hukum dirumuskan secara terukur dan formal, dan tidak semua orang dapat menjadi operator hukum, melainkan mereka yang memiliki kualifikasi khusus. Hukum menjadi dunia esoterik, yaitu hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang telah menjalani pendidikan khusus.
Pencarian dan proses keadilan bagi masyarakat yang memerlukannya diserahkan kepada lembaga tertentu yang berwenang. Pengadilan merupakan salah satu tumpuan dalam menyelesaikan sengketa para pihak, ia bertugas sebagai lembaga yang menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Sayangnya masyarakat yang datang ke Pengadilan bukan lagi semata untuk mendapatkan keadilan, tetapi untuk menang.
Dengan demikian kita semakin kurang melihat proses hukum sebagai pergulatan manusia untuk memperoleh keadilan, yang lebih banyak kita lihat adalah pergulatan peraturan, Undang-Undang dan prosedur. Out put berupa putusan (vonnis) sangat dipengaruhi oleh sistem dan kemampuan para pihak membuktikan.
Hukumlah yang menentukan kapan seseorang itu ada, kapan seseorang memiliki sesuatu, bagaimana cara untuk memiliki sesuatu, dan seterusnya. Hukum menjadi acuan dalam menyelesaikan konflik/sengketa para pihak.

3. Konkritisasi Hukum

Hukum yang terekam dalam peraturan-peraturan tertulis maupun yang merupakan kaidah hukum dan dalam hukum yang tidak tertulis merupakan sesuatu yang abstrak dan berlaku umum. Sedangkan hukum yang konkrit dan khusus sifatnya manakala telah diterapkan/diberlakukan pada kasus yang tertentu.
Pengadilan melalui putusan-putusan hakim berperan mentranformasikan ide-ide yang bersumber pada nilai-nilai moral yang bersifat abstrak ke dalam peristiwa konkrit, sehingga putusan hakim memfisualisasikan asas-asas yang abstrak menjadi kaidah hukum konkrit.
Dalam setiap perkara akan dilihat, diakui atau dibenarkan telah terjadi peristiwa tersebut. Hakim melakukan pembuktian dengan alat-alat bukti dalam mendapatkan kepastian peristiwa tersebut dikualifisir termasuk dalam hubungan hukum apa atau yang mana. Hakim akan mencari ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan pada peristiwa hukum yang bersangkutan. Jadi, Hakim akan menerapkan hukum terhadap peristiwa dan menilainya serta pada gilirannya menetapkan hukumnya kepada peristiwa yang bersangkuta, barang tentu ia memberikan keadilan sesuai dengan penilaiannya.
Eksistensi Keadilan memerlukan peranan Hakim dalam penerapannya. Konkretisasi keadilan hanya mungkin bilamana Hakim memahami kenyataan sosial yang terjadi di masyarakat.

4. Faktor Eksternal dan Internal

Hakim dalam mengaktualisasi ide keadilan memerlukan situasi yang kondusif, baik yang berasal dari faktor eksternal maupun internal dari dalam diri seorang Hakim. Jika ditelusuri, faktor-faktor yang mempengaruhi Hakim dalam mentransformasikan ide keadilan, setidaknya dapat dipetakan sebagai berikut : a. Jaminan terhadap kebebasan peradilan/Hakim; b. Kualitas profesionalisme Hakim; dan c. Penghayatan etika profesi Hakim. Faktor pertama merupakan faktor eksternal, sedangkan dua faktor terakhir merupakan faktor internal.

a. Jaminan Kebebasan Peradilan (Indepedency of Judiciary).

Kebebasan peradilan sudah menjadi keharusan bagi tegaknya negara hukum (rechstaat). Hakim akan mandiri dan tidak memihak dalam memutus sengketa, dan dalam situasi yang kondusif tersebut, Hakim akan leluasa untuk mentransformasikan ide-ide dalam pertimbangan-pertimbangan putusan. Di Indonesia jaminan terhadap indepedency of judiciary telah dipancangkan sebagai pondasi dalam Pasal 24 dan 25 UUD 1945 yang dipertegas dalam penjelasan dimaksud :
“Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinyaterlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para Hakim”.
Hal tersebut dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang

Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatakan :

“Kekuasaan kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian didalamnya kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, directiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisiil kecuali dalam hal-hal yang diijinkan oleh Undang-Undang”.
Kekuasaan kehakiman yang mandiri mempunyai dua tujuan. Pertama agar melakukan fungsi dan kewenangan peradilan secara jujur, dan adil, kedua, agar kekuasaan kehakiman mampu berperan melakukan pengawasan terhadap semua tindakan penguasa. Sedangkan konsekuensi dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah :

1). Supremasi hukum.
Setiap penyelesaian sengketa harus sesuai dengan proses yang ditentukan hukum berdasarkan asas :
  • Perlakuan yang sama didepan hukum;
  • Perlindungan yang sama didepan hukum;
2). Peradilan sebagai katup penekan (pressure valve)
Lembaga peradilan diberi wewenang sebagai katup penekan :
  • Atas setiap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh siapapun dan pihak manapun tanpa kecuali;
  • Pelanggaran itu meliputi segala bentuk perbuatan yang tidak konstitusional, ketertiban umum dan kepatutan;
3). Peradilan sebagai tempat terakhir (the last resort) dalam menegakkan kebenaran dan keadilan menempatkan peradilan sebagai tempat terakhir.
4). Peradilan sebagai pelaksana penegakan hukum.
5). Peradilan dibenarkan bertindak “tidak demokratis secara fundamental” :
  • Tidak memerlukan akses dari siapapun;
  • Tidak memerlukan negosiasi dari pihak manapun;
  • Tidak memerulkan “kompromi” dari pihak yang berperkara;
Terdapat kesepakatan umum dalam komunitas Pengadilan di dunia bahwa lembaga peradilan diharapkan untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :
  • Pengadilan memberikan keadilan individu dalam kasus individual.
  • Pengadilan beroperasi secara transparan.
  • Pengadilan menyediakan suatu forum yang tidak memihak dalam meyelesaikan sengketa hukum.
  • Pengadilan melindungi warga dari penggunaan kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang.
  • Pengadilan melindungi yang lemah.
  • Pengadilan membuat dan merawat catatan formal tentang putusan dan status hukum.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, sebenarnya pengaturan tentang kemandirian kekuasaan kehakiman tampak kokoh.

b. Kualitas Profesionalisme Hakim

Setiap Hakim dituntut untuk melaksanakan tugasnya secara profesional, yakni kemampuan dan ketrampilan Hakim untuk melaksanakan efesiensi dan efektifitas putusan. Baik dari segi penerapan hukumnya, maupun kemampuan mempertimbangkan putusan berdasarkan nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, serta kemampuan memprediksi reaksi dan dampak sosial atas putusan yang telah dijatuhkannya.
Profesionalisme ini merupakan salah satu sisi dari mata uang “profesi”, disamping sisi etika profesi. Jadi, setiap profesi mempunyai dua aspek, yakni profesionalisme sebagai keahlian teknis dan etika profesi sebagai dasar moralita.
Profesionalisme mempunyai peranan yang penting, lebih-lebih Hakim mengemban tanggung jawab dan kewajiban yuridis yang terkait dengan jabatannya. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1974 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 mewajibkan Hakim :
“.....tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya”. (Pasal 14 ayat (1)).
Dalam upaya mewujudkan profesionalisme Hakim, maka seyogyanya para Hakim memiliki penguasaan ilmu yang mendalam dan wawasan yang luas, yang tercermin dalam bobot dan untuk putusan yang dijatuhkan dengan kemampuan untuk mengetahui, memahami dan menghayati hukum yang berlaku serta mempunyai keberanian menjatuhkan keputusan berdasarkan hukum dan keadilan.

c). Penghayatan Etika Profesi Hakim

Etika profesi Hakim adalah asas-asas moralita yang mendasari profesi Hakim. Bermakna sebagai pegangan dalam bersikap dan bertindak selama mengemban dan menjalankan jabatan Hakim, baik di dalam maupun di luar kedinasan.
Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) telah merumuskan kode kehormatan Hakim Indonesia dalam bentuk Panca Dharma Hakim, yang merupakan suatu bentuk pengawasan terhadap anggotanya. Panca Dharma Hakim ini merupakan nilai-nilai yang bersifat abstrak, yang terdiri dari :
Kartika : bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

Cakra : berlaku adil;
Candra : bijaksana;
Tirta   : jujur;

Sari : berbudi luhur;

5. Persfektif Masyarakat terhadap Putusan (Hakim)

Putusan Hakim yang wujudnya terdiri dari susunan kata (bahasa) yang sebenarnya mengandung kegiatan berfikir yuridik dari pembuatnya (Hakim). Ia akan mengkonstatir, mensistimatir serta menyimpulkan. Kegiatan ini nampak teraplikasi dalam pemenuhan suatu peraturan hukum yang akan diterapkan pada kumpulan peristiwa yang dikemukakan para pihak, ataupun dalam pola pikir pertimbangan (motivasi), sehingga antara pertimbangan hukum dan keputusannya (amar) mempunyai suatu rangkaian yang logis. Tetapi yang tidak kalah pentingnya, secara konseptual putusan harus memberikan keadilan individu dalam setiap kasus (perkara).
Bagi setiap individu yang paling penting putusan itu cocok dan memenuhi rasa keadilan. Sayangnya karena perkara itu terdapat dua pihak yang berkonflik, maka terdapat presepsi yang berbeda dalam menyikapi suatu putusan. Pihak yang kalah cenderung berkata, tidak adil, terdapat kolusi dan berbagai nada lain yang mendiskreditkan Pengadilan.
Secara psikologis, setiap orang berkeinginan hidup bahagia dan menghindar dari kesengsaraan, sehingga manakala dinyatakan kalah akan mencari upaya untuk memperbaiki posisinya. Undang-Undang telah memberikan ketentuan untuk melakukan upaya hukum, jika ia tidak puas dengan putusan Hakim. Akan tetapi setelah sampai tingkat peradilan tertinggi-pun bahkan ketika kasusnya akan dieksekusi tidak secara sukarela melaksanakan bunyi putusan. Hal ini tentunya menjadi beban Pengadilan.
Sebagai bandingan di Amerika Serikat, bagi warga negara yang telah diputus (perdata) akan melakukan/melaksanakan bunyi putusan secara sukarela dan damai. Bilamana hal itu tidak terjadi, maka yang bersangkutan berhadapan dengan ancaman pidana.

6. Penutup

a. Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, hakim berwenang menetukan hukum dan keadilan bagi setiap individu yang berperkara.
b. Hakim harus memberikan keadilan kepada setiap pihak dan proses penyelesainnya tidak memihak.
c. Budaya masyarakat cenderung menolak putusan (perdata) dan pelaksanaan putusan (eksekusi) memerlukan upaya paksa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar